SOLUTIF

Pernikahan Dini: Tradisi yang Harus Diakhiri, Demi Masa Depan Generasi

Gambar ilustrasi pernikahan dini dari webbenner

Tuban, 27 Mei 2025 – Pernikahan dini masih menjadi fenomena sosial yang menghantui dan mengkhawatirkan di berbagai wilayah Indonesia. Seperti yang baru viral kemarin di daerah NTB pernikahan dini yang terjadi pada remaja umur 15 dan 17 tahun telah dilakukan. Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menaikkan batas usia minimal menikah menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Namun, praktik pernikahan di bawah umur tetap dilakukan dengan alasan tradisi dan ekonomi. Praktik ini selangkah demi selangkah merenggut hak anak-anak untuk tumbuh, berkembang dan meraih potensi penuh mereka. Opini ini ingin menyuarakan betapa pentingnya kita sebagai masyarakat untuk memandang pernikahan dini bukan hanya sebagai tradisi atau pilihan pribadi melainkan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia terutama hak anak-anak.

Dampak pernikahan dini sangatlah kompleks dan menghancurkan, bagi individu maupun bagi struktur sosial. Seorang anak yang dipaksa menikah dini, seringkali harus putus sekolah, mengubur impian untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Padahal, pendidikan adalah kunci utama untuk memutus rantai kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup. Ketika anak perempuan menikah terlalu muda, mereka juga rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan berisiko tinggi di usia yang belum matang, yang dapat membahayakan nyawa ibu dan bayi.

Tidak hanya itu, pernikahan dini juga memperbesar risiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Anak-anak yang belum matang secara emosional dan mental seringkali tidak siap menghadapi dinamika pernikahan, sehingga rentan menjadi korban kekerasan atau bahkan pelakunya. Mereka juga cenderung kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan menikmati masa remaja yang seharusnya penuh dengan eksplorasi dan pembelajaran. Ini semua berujung pada kerentanan ekonomi dan sosial karena kurangnya keterampilan dan pengalaman.

Menghadapi kenyataan ini, kita tidak bisa tinggal diam. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pendidik, dan yang terpenting, keluarga, harus bekerja sama. Memberikan bekal edukasi tentang bahaya pernikahan dini, baik di sekolah maupun di masyarakat, harus terus digalakkan. Perlunya pemberdayaan ekonomi keluarga agar pernikahan tidak lagi dianggap sebagai solusi finansial. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pernikahan dini yang melanggar undang-undang juga mutlak diperlukan untuk memberikan efek jera.

Mengembalikan harapan masa depan pernikahan dini adalah luka bagi bangsa ini. Ia mencabut senyum dari wajah anak-anak dan merampas potensi generasi penerus. Sudah saatnya kita bergerak lebih gencar, bersuara lebih lantang, dan bertindak lebih nyata untuk melindungi masa depan anak-anak kita. Setiap anak berhak mendapatkan masa kecil yang penuh dengan kebahagiaan, pendidikan, dan kesempatan untuk meraih cita-cita. Mari bersama-sama mengakhiri lingkaran setan pernikahan dini, dan mengembalikan harapan masa depan bagi setiap anak di Indonesia.

Reporter: Dea Catur Wahyu Ambarwati / Khoirul Fatimah/M. Sandy Prakoso

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top