SOLUTIF

Perang Kuning, Menjadi Tonggak Lahirnya Kebhinekaan Di Lasem

Suasana di Kecamatan Lasem

Rembang, 20 Mei 2025– Lasem, sebuah Kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, menyimpan kisah heroik yang menjadi saksi bisu lahirnya semangat kebhinekaan di Indonesia. Perang Kuning, yang terjadi pada tahun 1740, tidak hanya menjadi catatan sejarah perlawanan terhadap penjajah Belanda, tetapi juga menjadi tonggak penting terbentuknya persatuan antar etnis di wilayah tersebut. Rudi Hartonon menceritakan bahwa Lasem dulunya adalah Kadipaten, Adipatinya merupakan keturunan China dan tokoh penggeraknya bernama Raden Panji Margono. Perang Kuning bermula dari perlawanan masyarakat pribumi terhadap kekuasaan Belanda. Peristiwa ini dipicu oleh kebijakan kolonial yang semakin menindas penduduk lokal. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Ali Baidlowi, atau yang dikenal dengan panggilan Jawanya Mbah Tirta, seorang ulama karismatik yang mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat.

Yang menarik, perlawanan ini tidak hanya melibatkan penduduk pribumi. Oei Ing Kiat, seorang keturunan Tionghoa, turut ambil bagian dalam perjuangan melawan Belanda. Ia bahu-membahu dengan tokoh lokal seperti Raden Panji Margono, menunjukkan bahwa semangat persatuan telah terjalin erat antara berbagai etnis di Lasem.

“Dari situ (Perang Kuning) sudah kelihatan, bahwa kerukunan antar masyarakat di Lasem yang heterogen ini sudah terjadi sejak dulu. Yang mana pada waktu itu masyarakat yang berbeda etnis bersatu untuk perang melawan penjajahan Belanda,” ungkap Rudi.

Perang Kuning dimulai setelah salat Jumat di depan Masjid Jami’ Lasem. Momentum spiritual ini menjadi simbol bahwa perjuangan bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga dilandasi semangat keagamaan dan persatuan. Masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan agama bersatu padu melawan musuh bersama yakni, penjajah Belanda. Rudi menekankan bahwa spirit kebhinekaan yang lahir dari Perang Kuning masih terjaga hingga saat ini.

“Masyarakat yang berbeda etnis hidup rukun dan saling membaur, serta saling bantu sama lain,” jelasnya.

Selama bulan Ramadan misalnya, masyarakat Tionghoa non-Muslim ikut berbagi takjil bagi umat Muslim yang berpuasa. Sebaliknya, pada perayaan hari besar Tionghoa seperti Imlek, masyarakat Muslim juga turut merayakan.

“Di sini itu meskipun masyarakatnya berbeda ya biasa saja, rukun-rukun saja. Untuk mempertahankan (kerukunan) itu memang harus saling membaur. Saya sendiri meskipun keturunan China, ya biasa membaur bareng siapa saja,” tambah Rudi.

Di tengah era digital yang memudahkan akses informasi dan komunikasi, Rudi berpesan kepada generasi muda untuk tetap memelihara semangat kebhinekaan ini. Ia menekankan pentingnya keterlibatanaktif dalam kegiatan sosial dan budaya lintas etnis untuk memperkuat ikatan persaudaraan.

Perang Kuning memang telah berlalu lebih dari dua abad yang lalu, namun semangatnya tetap hidup dalam keseharian masyarakat Lasem. Kerukunan antaretnis yang terjalin erat menjadi bukti nyata bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan bermasyarakat.

Rudi juga mengatakan bahwasannya, “Lasem adalah miniatur Indonesia. Di sini, kita bisa melihat bagaimana kebhinekaan bukan hanya slogan, tetapi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Inilah warisan Perang Kuning yang harus kita jaga bersama.”

Reporter: Ilham Arifan Koeswoyo/Khoirul Fatimah/M. Sandy Prakoso

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top