SOLUTIF

Menelusuri Jejak Buah Bibit Praktik Korupsi yang Telah Ada Sejak Zaman Kerajaan Mataram Kuno

Sumber foto ilustrasi : pinterest id

Korupsi memang menjadi benalu bagi perkembangan sebuah negara. Penyalahgunaan uang negara demi kepuasan pribadi ternyata tak hanya terjadi di zaman sekarang saja, namun telah ada sejak era Kerajaan Mataram Kuno. Tindakan korupsi di masa Kerajaan Mataram Kuno telah terbukti dari beberapa catatan yang tertulis di Prasasti Luitana dan Prasastna.

Kasus itu tertulis dalam ukiran prasasti pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung (899-911 M), yang telah menyebutkan adanya sebuah praktik kotor penyalahgunaan uang oleh pejabat wilayah kerajaan. Bukan menggunakan metode gratifikasi seperti yang dilakukan oleh pejabat zaman sekarang, para pejabat korup pada masa itu melakukan korupsi dengan cara memanipulasi sebuah alat ukur tanah untuk mendapatkan keuntungan lebih dari pembayaran pajak tanah.

Kejadian ini terjadi pada Kamis Kliwon, Paringkelan Was (16/04/901 M). Saat itu, para penduduk Desa Luitan berbondong-bondong menghadap ke Rakryan Mapatih I Hino. Mereka memohon ampun kepada Rakryan karena mengaku tak sanggup membayar pajak yang telah ditentukan. Para penduduk merasa pajak yang harus mereka bayarkan tak sebanding dengan ukuran tanah yang mereka miliki. Para penduduk menduga jika tanah mereka diukur dengan satuan tampah yang lebih kecil daripada satuan tampah standarnya.

Karena kecurigaan tersebut, penduduk mencoba memohon kepada Rakryan Mapatih I Hino dan Rakryan I Pagerwesi untuk melakukan pengukuran kembali sawah-sawah dan tanah mereka dengan satuan tampah yang benar. Pada akhirnya, permohonan mereka disetujui. Dan benar, ketika pengukuran tanah kembali dilakukan, terbukti jika tampah yang digunakan sebelumnya memiliki satuan yang lebih kecil, dengan perbandingan 2/3 dari satuan tampah standar.

Dari pengukuran menggunakan satuan tampah yang benar tersebut, terbukti bahwa para pejabat daerah kampung ingin mencari keuntungan lebih untuk dirinya sendiri dari pajak tanah yang dibayarkan oleh penduduk desa. Dengan memanipulasi ukuran satuan tampah menjadi lebih kecil, maka biaya pajak yang harus dibayarkan oleh penduduk akan menjadi lebih banyak. Keuntungan yang didapatkan oleh para pejabat pajak nakal dari trik kotor ini diperkirakan dapat mencapai 33,3 % dari pendapatan pajak tanah.

Memang cukup miris jika dirasakan, karena pada faktanya budaya korupsi telah ada sejak zaman kuno dan berkembang hingga zaman modern saat ini. Kasus korupsi memang menjadi kasus yang sangat darurat di negeri ini, kerugianya bahkan mencapai ratusan hingga miliaran. Namun untuk menghentikan kasus ini tentu saja tidak mudah. Diperlukan dukungan yang kuat dari pemerintah serta ketegasan dari hukum yang ada. Selain itu, diperlukan kesadaran dalam diri setiap orang terutama para pejabat negara, bahkan kesadaran diri sendiri juga sangat diperlukan. Karena korupsi bisa berasal dari hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.

Reporter : Muhammad Marcelino Ade Pranoto/Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top