
Hasan Basri, yang lahir pada 10 Agustus 1920 di Muara Teweh, Kalimantan Tengah, adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar di bidang pendidikan dan dakwah. Putra kedua dari pasangan Muhammad Darun dan Siti Fatimah ini diberikan nama Hasan Basri untuk mengenang seorang perawi hadits terkemuka, Hasan Al-Basri, yang merupakan simbol ketakwaan bagi keluarga yang taat beragama.
Ibunda KH. Hasan Basri, Siti Fatimah, dikenal sebagai seorang ahli obat tradisional yang dihormati di Kalimantan. Beliau meramu obat dari akar kayu Kalimantan dan berperan sebagai dukun beranak. Selain itu, Siti Fatimah juga seorang pembaca setia karya Syekh Abdul Kadir Munsi yang ditulis dalam huruf Jawi.
Sejak kecil, Hasan Basri mengalami masa yang penuh perjuangan setelah menjadi yatim piatu pada usia tiga tahun. Ia kemudian diasuh oleh kakeknya, Haji Abdullah, seorang pegawai pengadilan negeri pada masa penjajahan Belanda. Di bawah asuhan kakeknya, Hasan Basri mengembangkan kebiasaan berpidato sejak usia lima tahun, berbicara dengan jujur di hadapan keluarganya tentang aktivitas sehari-hari. Kemampuan berbicara di depan umum ini terus berkembang selama ia bersekolah di SMP Muhammadiyah Banjarmasin, di mana ia memperoleh ilmu pidato atau muhadarah.
Setelah lulus dari Sekolah Guru Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1941, Hasan Basri kembali ke kampung halaman dan bersama istrinya, Nurhani, mendirikan Sekolah Dasar Muhammadiyah di Marabahan, Kalimantan Selatan. Tidak hanya di bidang pendidikan, Hasan Basri juga aktif dalam dunia politik. Pada masa Revolusi 1945, ia mendirikan Serikat Muslim Indonesia (Sermi) di Banjarmasin dan Barisan Serikat Muslimin Indonesia (BASMI), yang bertujuan untuk mengusir penjajah Belanda.
Selama masa kemerdekaan, Hasan Basri terpilih sebagai anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1950, mewakili Kalimantan Selatan. Ia aktif dalam komisi E yang membawahi bidang agama, pendidikan, dan kesehatan. Meskipun Masyumi dibubarkan pada tahun 1960, Hasan Basri tetap berkontribusi dalam dunia dakwah.
Karirnya di dunia dakwah semakin menonjol setelah ia menghadiri berbagai muktamar internasional, seperti Muktamar Menteri-menteri Agama se-Dunia Islam di Mekkah pada 1981 dan KTT-OKI di Casablanca, Maroko pada 1983. Hasan Basri juga pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Imam Agung Masjid Al-Azhar.
Hasan Basri dikenal sebagai sosok yang berkomitmen terhadap pendidikan dan dakwah Islam. Sebagai seorang guru, ia selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keteladanan kepada murid-muridnya. Kakeknya, Haji Abdullah, menjadi inspirasi dalam mendidik Hasan Basri untuk selalu mengutamakan pendidikan agama yang jujur dan sistematis.
Hasan Basri melanjutkan pendidikan di Sekolah Zu’ama Muhammadiyah di Yogyakarta, yang mempersiapkan pemimpin-pemimpin ulama dan profesional. Di sinilah ia bertemu dengan Buya Hamka, yang turut menginspirasi Hasan Basri untuk mengembangkan kemampuan pidatonya.
Pada tahun 1950, Hasan Basri pindah ke Jakarta untuk menjalani tugasnya sebagai anggota DPR RIS. Meskipun kehidupannya sederhana, ia terus berjuang untuk negara dan umat Islam. Ia kembali membawa keluarganya ke Jakarta pada 1953, setelah mengontrak rumah di Jl. Timor No. 19. Kehidupan di Jakarta membawa banyak perubahan, dan Hasan Basri terus berperan aktif dalam dunia politik dan dakwah hingga akhir hayatnya.
Hasan Basri meninggal dunia pada 8 November 1998 di Jakarta, pada usia 78 tahun. Ia meninggalkan empat anak dan sepuluh cucu yang sukses di bidang masing-masing, meneruskan perjuangan dan nilai-nilai yang ia tanamkan sepanjang hidupnya.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.
Reporter: Akhmad Rizki Fadilah