
SOLUTIF, (Tuban) – Di tengah derasnya arus zaman dan gaya hidup modern, masyarakat Desa Pucangan, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, masih memegang teguh warisan leluhur yang disebut Tolak Balak. Tradisi ini bukan hanya ritual budaya, tetapi juga menjadi wujud nyata doa bersama agar seluruh warga dijauhkan dari mara bahaya, khususnya yang sering mengintai di jalanan Desa. 28 Juni 2025
Tolak Balak biasa dilaksanakan pada bulan Suro, bulan yang dalam kepercayaan Jawa sarat dengan nuansa spiritual dan dianggap sakral. Waktu pelaksanaannya biasanya pada tanggal 1 Suro atau malam Jumat selama bulan tersebut. Prosesi dimulai selepas salat Ashar, saat langit mulai meredup dan suasana terasa lebih tenang.
Uniknya, tradisi ini tidak dilakukan secara serempak satu Desa, melainkan bergilir antar wilayah kecil atau kelompok keluarga. Lokasinya pun tidak di tempat tertutup atau khusus, melainkan di pinggir-pinggir jalan, perempatan, dan pertigaan. Hal ini menjadi simbol harapan agar jalan-jalan di desa terbebas dari kecelakaan, dan masyarakat yang melintasinya senantiasa dalam lindungan Tuhan.
Di tempat yang telah disepakati, warga menggelar hajatan dengan hidangan tumpeng lengkap dengan jajanan pasar seperti klepon, cenil, kue cucur, dan lemper. Semua makanan ini disusun rapi di atas tampah, dihiasi daun pisang. Acara kemudian dilanjutkan dengan doa bersama, tanpa perlu arak-arakan atau kegiatan berlebihan.
Rondli, salah satu warga desa yang sering memimpin hajatan tolak-balak ini, menuturkan makna mendalam dari Tolak Balak dengan semangat yang tulus.
“Ini bukan sekadar tradisi, mbak. Ini cara kami menjaga keseimbangan,” ujarnya sambil menatap barisan tumpeng di hadapannya. “Kami percaya bahwa keselamatan itu bukan hanya soal waspada, tapi juga soal doa dan kebersamaan. Jadi kami berdoa bareng, supaya jalanan ini nggak jadi tempat orang celaka,”ujar Rondli.
Ia pun menambahkan, bahwa bukan hanya warga yang tinggal dekat lokasi, tapi siapa pun yang melintas jalan tersebut juga ikut didoakan.
“Kadang ada pengendara lewat, mereka berhenti sebentar, ikut nimbrung, dan kita kasih makanan. Itulah Pucangan, terbuka dan saling mendoakan,” imbuhnya.
Tradisi ini juga menjadi momen berkumpul yang mempererat hubungan antarwarga. Anak-anak kecil duduk bersila di pinggir tikar, mendengarkan doa dengan penuh rasa ingin tahu. Sementara para ibu menyiapkan makanan dan bapak-bapak menata tempat. Semuanya berjalan alami, tanpa perlu panitia atau perintah.
Kini, di tengah kesibukan dan perubahan gaya hidup yang makin individualis, Tolak Balak hadir sebagai pengingat bahwa keselamatan bukan hanya tanggung jawab pribadi, tapi juga usaha bersama. Di Desa Pucangan, doa untuk keselamatan bukan hanya dibisikkan di hati, tapi dinyatakan lewat tradisi yang sederhana, khusyuk, dan menyentuh.
Reporter: Rhofi Dzar Tsania F / M. Sandy Prakoso / Siti Fadhilah Nur Ilma