
SOLUTIF, Lamongan-(28/06/2025) — Musim tanam tahun ini menjadi masa sulit bagi para petani cabai di Kabupaten Lamongan. Bukan panen melimpah yang mereka tuai, melainkan kekecewaan akibat serangan hama dan cuaca ekstrem yang merusak sebagian besar tanaman cabai mereka. Akibatnya, hasil panen menurun drastis, dan pendapatan petani ikut tergerus. Di tengah biaya produksi yang kian tinggi, para petani hanya bisa pasrah serta berharap perhatian nyata dari pemerintah.
Tanaman cabai milik petani di Lamongan terserang hama dan rusak akibat cuaca ekstrem, menyebabkan gagal panen. Kondisi ini dialami para petani di berbagai kecamatan di Kabupaten Lamongan, khususnya Paciran, Brondong, dan Tikung. Serangan terjadi di sentra pertanian cabai Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, selama musim tanam awal tahun 2025 hingga pertengahan Juni. Hal ini disebabkan oleh kombinasi cuaca tidak menentu (hujan berlebihan dan panas ekstrem) serta minimnya pengendalian hama yang efektif. Para petani mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah dan kesulitan memperoleh modal untuk menanam kembali.
Musim tanam awal tahun yang biasanya menjadi harapan besar para petani cabai di Lamongan kini berubah menjadi mimpi buruk. Lahan yang sebelumnya hijau dan subur, kini terlihat layu, rontok, dan penuh bekas serangan hama seperti thrips dan lalat buah. Beberapa petani bahkan memilih mencabut tanamannya sebelum waktunya karena sudah tidak bisa diselamatkan.
“Baru berbuah sedikit, sudah banyak yang busuk kena lalat buah. Daunnya juga rontok terus karena serangan hama Thrips. Sudah kami semprot, tetapi cuaca terus hujan, jadi pestisida kurang maksimal,” ungkap Sulaiman, petani cabai di Kecamatan Paciran (27/6).
Menurut para petani, salah satu penyebab utama gagalnya panen kali ini adalah cuaca yang tidak bersahabat. Intensitas hujan yang tinggi sejak awal tahun membuat lahan becek dan akar tanaman mudah membusuk. Setelah hujan, suhu siang yang sangat panas justru membuat stres tanaman meningkat, memperparah kondisi daun dan buah cabai. “Dulu, kami bisa panen 1 sampai 1,5 ton per 1.000 meter persegi, sekarang paling hanya 300–400 kg. Itu pun kualitasnya jelek. Banyak yang busuk dan tidak bisa dijual di pasar besar,” ujar Yati, petani perempuan di Desa Blimbing, Kecamatan Tikung.
Kerugian pun tak terelakkan. Biaya tanam cabai, yang bisa mencapai Rp15-20 juta per 1.000 meter persegi, sulit tertutup jika hasil panennya sangat minim. Ironisnya, meski produksi menurun, harga cabai di tingkat petani tidak selalu naik signifikan. Ketidakseimbangan pasar karena pasokan dari luar daerah seperti Kediri atau Blitar yang masih cukup stabil membuat harga di pasar Lamongan cenderung stagnan.
“Sekarang harga cabai keriting hanya Rp20.000 per kg, padahal kami butuh minimal Rp30.000 untuk balik modal. Kalau begini terus, bisa-bisa kami tidak tanam cabai lagi musim depan,” ucap Slamet, petani dari Brondong.
Di sisi lain, para petani mengeluhkan kurangnya pendampingan dari pemerintah daerah. Selama masa serangan hama, mereka mengaku tidak ada petugas pertanian yang datang untuk mengecek langsung atau memberikan solusi konkret. Bantuan pestisida atau pelatihan pengendalian hama secara terpadu juga sangat jarang dilakukan.
“Paling hanya penyuluh yang datang sebulan sekali, itu pun tidak membawa solusi nyata. Kami butuh pelatihan tentang cara menangani hama yang lebih efektif, apalagi cuaca sekarang tidak bisa diprediksi,” tambah Sulaiman.
Kondisi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Pertanian Lamongan. Dibutuhkan langkah nyata, bukan sekadar program seremonial atau laporan administratif belaka. Para petani tidak hanya butuh pujian karena telah ‘menjaga ketahanan pangan’, tetapi juga perlindungan dan dukungan saat mereka menghadapi masa sulit seperti sekarang.
“Petani adalah ujung tombak pangan daerah. Kalau mereka terus dibiarkan rugi, bagaimana ketahanan pangan kita bisa kuat?” ujar Siti Aisyah. Ia juga menambahkan bahwa sudah saatnya pemerintah serius membentuk unit respons cepat pertanian yang bisa langsung membantu saat ada serangan hama, gagal panen, atau cuaca ekstrem.
Tidak cukup dengan bantuan sesaat, para petani juga butuh pembinaan jangka panjang. Salah satunya melalui program diversifikasi komoditas dan edukasi pertanian berkelanjutan. Misalnya, mengombinasikan cabai dengan tanaman tumpangsari seperti tomat, daun bawang, atau sayuran lain yang lebih tahan cuaca.
“Kalau hanya cabai terus, kami rentan gagal seperti sekarang. Harus ada solusi pertanian terpadu yang diajarkan ke kami. Jangan biarkan petani jalan sendiri-sendiri,” tegas Yati.
Meski dihantam kerugian dan cuaca yang tidak berpihak, semangat para petani cabai Lamongan belum padam. Mereka masih menggantungkan harapan pada musim tanam selanjutnya, meski dengan was-was. Namun, tanpa dukungan konkret dari pemerintah dan instansi terkait, harapan itu bisa saja berubah menjadi kenyataan pahit berikutnya.
“Kami ini bukan minta disubsidi terus, tapi setidaknya diberi pengetahuan dan pendampingan yang tepat. Kalau gagal terus, siapa lagi yang mau tanam cabai?” tutup Slamet dengan nada getir.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian bukan sekadar urusan panen dan harga di pasar. Di balik setiap cabai yang kita konsumsi, ada petani yang berjibaku dengan tanah, cuaca, dan ancaman hama. Sudah seharusnya perhatian terhadap mereka tidak hanya hadir di saat panen raya, tetapi juga saat mereka benar-benar membutuhkan uluran tangan.
Reporter: Rina Mei Zul Afifah/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia