SOLUTIF

Silat Selalu Rusuh? Kita Harus Bicara Jujur

Sejumlah sepeda motor milik penggembira yang terlibat kerusuhan saat pengesahan warga PSHT diamankan di Mapolres Tuban. (Foto: Istimewa)

SOLUTIF, Tuban-(11/07/2025) —  Ratusan penggembira dari Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) kembali membuat kerusuhan saat acara pengesahan warga baru yang berlangsung di Kabupaten Tuban pada 8 Juli 2025. Peristiwa tersebut menimbulkan keresahan masyarakat karena disertai konvoi kendaraan, pelanggaran lalu lintas, dan aksi tidak tertib yang berulang setiap tahun.

Polres Tuban mengamankan 326 orang, sebagian besar remaja, yang mengaku datang karena ajakan orang tak dikenal melalui media sosial. Sebanyak 224 sepeda motor disita, sebagian di antaranya ditinggalkan begitu saja di jalan. Mereka datang bukan untuk mengikuti prosesi, melainkan sekadar ikut meramaikan tanpa pengawasan jelas.

Pertanyaannya bukan lagi “apa yang terjadi?” karena jawabannya sudah kita ketahui. Tetapi mengapa ini terus berulang? Mengapa tiap tahun selalu berakhir ricuh? Mengapa silat, yang katanya warisan budaya luhur, kini justru semakin identik dengan kekacauan di jalanan?

Kita tidak bisa terus membela diri dengan mengatakan, “Itu hanya oknum.” Sebab jika oknumnya selalu muncul di setiap agenda besar, barangkali yang perlu diperiksa bukan hanya individu, tetapi juga sistem dan budaya yang melingkupinya.

Silat tidak salah. Namun cara kita mengelolanya, itulah yang patut ditinjau kembali.

Pencak silat selama ini dikenal sebagai warisan budaya yang menjunjung kesopanan, pengendalian diri, dan rasa hormat terhadap sesama. Namun di lapangan, kenyataannya justru bertolak belakang: arogansi, kebisingan, minuman keras, serta kerumunan remaja di bawah umur yang datang tanpa arah hanya karena mengikuti tren di grup daring.

Kita sedang gagal membentuk watak pendekar. Yang muncul justru kerumunan emosional yang merasa kehadiran di jalan lebih penting daripada menggunakan akal sehat.

Kapolres Tuban, AKBP William Cornelis Tanasale, dalam konferensi pers pada 10 Juli menegaskan komitmennya untuk menindak siapa pun yang menimbulkan keresahan. “Semua yang meresahkan masyarakat akan kami tindak tegas,” ujarnya.

Pernyataan seperti itu memang penting. Namun tidak cukup. Sebab jika penanganan hanya dilakukan setelah kerusuhan terjadi, maka kita hanya berperan sebagai pemadam kebakaran. Bukan pencegah.

Perguruan pencak silat, termasuk PSHT, memiliki tanggung jawab moral. Bukan sekadar mengesahkan warga baru, tetapi juga membentuk pribadi yang dewasa. Apa gunanya mengenakan sabuk hitam jika masih bangga memacu motor di jalan sambil membawa minuman keras?

Ketua PSHT Cabang Tuban, Lamidi, menyatakan akan menindak anggota yang melanggar. Tetapi lagi-lagi, itu merupakan reaksi setelah kejadian. Bagaimana dengan pencegahannya? Bagaimana nilai-nilai luhur bisa dijaga agar generasi muda memahami pengesahan sebagai proses spiritual, bukan ajang pamer eksistensi?

Jika memang silat adalah budaya luhur, sudah saatnya semua pihak berhenti memperlakukannya seperti organisasi massa belaka.

Silat adalah warisan. Namun jika kita terus membiarkan kekerasan dan kerusuhan mengiringinya, maka lama-kelamaan tidak ada bedanya dengan kelompok jalanan.

Polisi bisa menangkap. Guru bisa memberi sanksi. Tetapi yang mampu mengubah arah budaya hanya kejujuran untuk mengakui bahwa ada yang salah dalam cara kita memaknai seni bela diri ini.

 

Reporter: Moh. Najib Aufani/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top