
Tuban, 18 Januari 2025 – Di sebuah desa yang terletak tak jauh dari hiruk pikuk, tepatnya di Desa Klutuk, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban, terdapat kisah menarik tentang sejarah Thak-Thakkan, sebuah ikon budaya yang telah bertahan selama 31 tahun dan dikenal dengan sebutan “Gandhrung”. Tradisi ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas budaya Kecamatan Tambakboyo. Namun, siapa sangka bahwa di balik proses pembuatan Thak-Thakkan terdapat cerita yang berkaitan dengan ritual mistis. Proses pembuatan Thak-Thakkan memerlukan beberapa persyaratan khusus, seperti menyan, kembang tujuh rupa, dan kembang telon yang harus ada. Selain itu, pemilihan waktu untuk memulai pembuatan juga dilakukan dengan cermat, yaitu pada hari Rabu Wage di malam satu Suro. Tradisi Thak-Thakkan tidak hanya berfungsi sebagai simbol budaya, tetapi juga menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya sebagai warisan berharga bagi masyarakat Desa Klutuk dan sekitarnya.
Malam itu, pada tahun 1994 di hari Rabu Wage malam 1 Suro, tiga pria dewasa tengah melakukan ritual kawit (awal) pembuatan Thak-Thakkan, yang selanjutnya akan mereka panggil dengan nama “Gandhrung”. Ritual itu dimulai dengan mengasah “golok” menggunakan air bersih yang dicampuri dengan bunga 7 rupa, setelah itu mereka memilih kayu yang akan dijadikan sebagai kepala Thak-Thakkan. Mereka mulai pada pukul 24.00 tepat, karena mereka, khusunya mbah Ciput, merasa bahwa itu adalah waktu yang tepat.
“Mbah Ciput bilang bahwa dia menemukan Gandhrung pada Rabu Wage malam, jadi dia juga memutuskan membuat kerangka kepala Gandhrung di Rabu Wage malam 1 Suro berikutnya,” ujar Muji, selaku teman mbah Ciput. Selain kepala, ternyata mbah Ciput juga membuat syair sendiri untuk menggambarkan keadaan Gandhrung, si Thak-Thakkan tertua. Di mana, isi dari syair tersebut terdengar pilu dan penuh makna jika ditelaah lebih dalam lagi.
“benar, Gandhrung adalah sesosok mahluk gaib bertubuh besar dan berwarna hitam. Mirip genderuwo, mahluk mistis yang selama ini kita tahu,” ungkap Muji ketika ditanya tentang apakah Gandhrung itu memiliki wujud.
“dia (Gandhrung) juga ingin dibuatkan rumah agar ketika dia ingin pulang, dia tidak akan bingung lagi ke mana harus pulang,” imbuh Muji.
Dengan permintaan Gandhrung yang seperti itu, mbah Ciput lekas membuatkan rumah untuknya, yang terletak di sendang Klutuk, serta mbah Ciput juga membuat kepala Thak-Thakkan lebih banyak lagi, sebagai teman Gandhrung. setelah semua selesai, mbah Ciput dan kedua temannya mendirikan paguyuban, agarTthak-Thakkan yang diciptakan bisa dikenal banyak orang. Pada akhirnya, mbah Ciput beserta dua temannya menamakan Thak-Thakkan yang telah dibuat menjadi “Naga Bumi”, dengan segala filosofi yang mengikutinya dan eksistensinya masih bertahan terhitung selama 31 tahun sampai sekarang.
Dengan syair tentang kisah hidup Gandhrung, serta alunan musik yang diatur sedemikian rupa, menjadikan permainan Thak-Thakkan semakin “Sakral”. Naga Bumi, selalu hadir saat ada acara Agustusan, seperti karnaval atau ketika ada orang yang ingin menyewa. Tentunya dengan membawa pawangnya, yaitu mbah Ciput dan kedua temannya.
“Naga Bumi adalah sebagai simbol bahwa di dunia ini semua yang ada akan kembali ke tempat asalnya. Naga Bumi menggambarkan bahwa, di bumi ada naga hari, naga bulan dan naga tahun. Dengan dinamakan seperti itu, kami berharap, paguyuban yang kami dirikan ini akan selalu kuat bertahan dan semakin dikenal banyak orang,” ucap Muji sebagai penutup perbincangan kami.
Indonesia memang kaya akan budaya dan sejarahnya. Tentu saja, sebagai generasi muda kita harus paham dan mengerti tentang kebudayaan di Indonesia. Setelah mendengar kisah sejarah tentang Thak-Thakkan dari mbah Muji, selaku teman mbah Ciput yang malam itu ikut membuat kepala Gandhrung, penulis menjadi lebih memahami bahwasanya, entah itu hal yang masuk akal atau di luar nalar sekalipun, kita harus tetap menghargai. Selama kita hidup di dunia, tidak ada yang tidak mungkin untuk terjadi. Jadi, hormatilah setiap perbedaan yang terjadi, dan hargailah setiap apa yang terjadi dalam hidup kita. (Siti Fadilah Nur Ilma/Mei)
Reporter : Siti Fadilah Nur Ilma