
Lamongan, 13 Juni 2025 – Di atas bukit Amitunon, tepatnya di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, terdapat sebuah tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan dakwah Islam di pesisir utara Jawa Timur. Yakni makam Sunan Sendang Duwur, atau Raden Noer Rahmad, merupakan salah satu tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-16. Raden Noer Rahmad lahir pada tahun 1320 M di Sedayu Lawas, Brondong, sebagai putra dari Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid, seorang pedagang dan mubalig asal Baghdad, Irak. Ibunya, Dewi Sukarsih, adalah putri Tumenggung Joyo, seorang bangsawan setempat. Setelah ayahnya wafat, Raden Noer Rahmad melanjutkan perjuangan dakwah ayahnya dan dikenal sebagai sosok yang kharismatik dan berpengaruh, disejajarkan dengan Wali Songo pada masa itu.
Kompleks makam Sunan Sendang Duwur terletak di atas bukit dengan ketinggian sekitar 50–70 meter di atas permukaan laut. Makam ini memiliki arsitektur yang unik, menggabungkan unsur-unsur kebudayaan Islam dan Hindu. Gapura luar berbentuk tugu bentar, sementara gapura dalam menyerupai paduraksa, yang biasa ditemukan di perbatasan antara Lamongan dan Gresik. Dinding penyangga cungkup makam dihiasi dengan ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi, serta dua batu hitam berbentuk kepala Kala di kedua sisi dinding. Salah satu kisah legendaris yang melekat pada Sunan Sendang Duwur adalah perihal pemindahan masjid dari Mantingan, Jepara, ke Bukit Amitunon dalam waktu semalam. Menurut cerita, Ratu Kalinyamat dari Jepara mengadakan sayembara bagi siapa saja yang mampu memindahkan masjid tersebut dalam waktu semalam, maka masjid itu akan diberikan kepadanya. Sunan Drajat kemudian memerintahkan Sunan Sendang Duwur untuk mengambil masjid itu. Setelah berdoa selama 40 hari, Sunan Sendang Duwur berhasil memindahkan masjid tersebut tanpa kerusakan sedikit pun. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Sendang Duwur ini hingga kini masih digunakan sebagai tempat ibadah dan menjadi pusat kegiatan dakwah di wilayah tersebut.
”Ajaran dan metode dakwah Sunan Sendang Duwur sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat setempat. Salah satu ajarannya yang terkenal adalah “mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu),” ungkap pak Jaya, selaku warga sekitar makam.
Ajaran ini mengajarkan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam kehidupan. Selain itu, tradisi selametan dan sedekahan yang diisi dengan pembacaan tahlil dan bancaan merupakan warisan budaya yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Sendang Duwur sebagai bagian dari dakwah kultural Sunan Sendang Duwur .
Kompleks makam Sunan Sendang Duwur kini menjadi salah satu destinasi wisata religi yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Selain berziarah, pengunjung juga dapat menikmati keindahan alam sekitar dan keunikan arsitektur makam. Lokasi makam yang berada di puncak bukit memberikan pemandangan yang memukau, serta suasana yang tenang, cocok untuk refleksi spiritual dan wisata Sejarah. Dengan segala keunikan dan kisah sejarahnya, Makam Sunan Sendang Duwur tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir seorang wali, tetapi juga simbol penyebaran Islam yang damai dan berbudaya di tanah Jawa. Jejak-jejak sejarah dan budaya yang ditinggalkan oleh Sunan Sendang Duwur menjadi warisan berharga yang terus dikenang dan dilestarikan oleh masyarakat Lamongan dan sekitarnya.
Reporter : Rina Mei Zul Afifah/Khoirul Fatimah/M. Sandy Prakoso