SOLUTIF

Kisah di Balik Monumen Kali Kepet: Perlawanan Rakyat Tuban Menumpas Para Penjajah

Tampak dari jauh Monumen Kepet, simbol sebuah perjuangan rakyat Tuban

TUBAN – Jika kita menoleh ke belakang mengenai bagaimana negara ini bisa merdeka, tentu tak akan lepas dari kisah belenggu penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama 350 tahun. Butuh ratusan tahun bagi Indonesia untuk merdeka. Segala jerih payah dan pertumpahan darah dalam peperangan telah dirasakan oleh bangsa kita.

Berbagai kisah perjuangan pahlawan juga beredar ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Tuban. Terdapat kisah sejarah pahlawan yang diabadikan dengan sebuah monumen yang berdiri di samping Jembatan Kaliklero. Monumen tersebut bernama Monumen Kepet.

Kisah perjuangan ini juga diabadikan dalam bentuk novel berjudul “Pagi Berdarah Kali Kepet” karya Edi Eka Setiawan dan M. Andik Susanto. Dalam kisah ini, pejuang bernama Badrun menjadi sosok penting atas tragedi pembantaian tentara Belanda di Kali Kepet.

Peristiwa ini berlatar waktu saat Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Bermula dari kedatangan pasukan Belanda dari Pantai Glondong yang berusaha menginvasi Kabupaten Tuban. Setelah berhasil menguasai pusat pemerintahan Tuban, tentara Belanda masuk ke berbagai wilayah kecamatan dan mendirikan pos untuk menjaga daerah mereka. Pos pengamanan tersebut tersebar di berbagai kecamatan, di antaranya berada di Kecamatan Merakurak, Jenu, Plumpang, Rengel, dan Tambakboyo. Selain itu, tersebar pula pos penjagaan di sejumlah titik lokasi jalan poros Tuban-Babat, yang menjadi jalur utama menuju Surabaya.

Dari berbagai penyebaran pos Belanda, terdapat salah satu pos yang menjadi titik lokasi peristiwa Pagi Berdarah Kali Kepet, yaitu pos penjagaan di Desa Tunah, Kecamatan Semanding.

Dalam buku dijelaskan, Mbah Badrun diperintahkan oleh Serma Mustajab untuk menyamar sebagai carik desa demi bisa keluar-masuk posko Belanda dan mendapatkan informasi. Rencana yang dipikirkan oleh Serma Mustajib berhasil mengelabui Belanda, sehingga strategi penyerangan dapat direncanakan.

Lalu, pada 18 April 1948, Mbah Badrun yang menyamar sebagai carik diperintahkan oleh pasukan Belanda untuk mencari buruh yang bisa dipekerjakan di dalam pos. Informasi tersebut lalu disalurkan kepada Serma Mustajib. Setelah mendengar penjelasan Mbah Badrun, Serma Mustajib bersama Mbah Badrun segera membuat skema rencana penyerangan Belanda secara mendadak.

Kemudian, pada tanggal 20 April 1948, hari penyerangan pun tiba. Mbah Badrun bersama pasukannya yang menyamar sebagai kuli tiba di posko penjagaan Belanda. Penyerangan mendadak itu dipimpin oleh Serma Mustajib melalui kode yang telah disepakati. Para pasukan pejuang mencoba mendekat sedekat mungkin dengan tentara Belanda. Setelah posisi mereka telah siap, kode dari Serma Mustajib akhirnya dilayangkan, dan serangan kejutan terjadi. Para pasukan mulai menyerang Belanda dengan senjata celok yang digunakan untuk menyamar.

Atas serangan mendadak itu, pasukan Belanda tak berhasil mengelak sehingga berhasil ditumpaskan oleh para pejuang tanpa adanya korban dari pihak pejuang. Serangan itu pula juga berhasil menjarah persediaan senjata tentara Belanda. Setelah peristiwa penyergapan itu usai, para pejuang juga berhasil selamat dari kejaran pasukan patroli Belanda.

Sejarah itulah yang menjadi alasan berdirinya Monumen Kepet, untuk selalu mengingat peristiwa berdarah tersebut. Penyerbuan itu masih menjadi cerita sejarah yang paling melekat bagi warga Tuban, karena penyerbuan itu tidak menggunakan senjata api, melainkan bermodalkan alat pertanian dan celok, senjata tradisional warga Tuban.

Reporter : Muhammad Marcelino Ade Pranoto / Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top