SOLUTIF, Tuban- (20/06/2025) — Afthoniya Nurin Nadhifa, mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas PGRI Ronggolawe Tuban, Jawa Timur, menjadi sorotan karena perannya sebagai Presiden Mahasiswa perempuan pertama di kampusnya. Lahir pada 28 September 2003 dan berasal dari Kelurahan Panyuran, Kecamatan Palang, Tuban, Afthoniya mulai aktif dalam dunia organisasi karena keresahannya terhadap ketimpangan gender yang masih banyak terjadi. Ia terus menyuarakan pentingnya kesetaraan dan keadilan bagi perempuan melalui berbagai kegiatan organisasi dan advokasi.
Afthoniya bukan hanya aktif di kampus sebagai pemimpin Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), tetapi juga dikenal sebagai Duta Generasi Berencana (GenRe) Jawa Timur. Lewat peran tersebut, ia banyak terlibat dalam kegiatan edukatif untuk remaja terkait perencanaan kehidupan berkeluarga, pencegahan pernikahan dini, serta kampanye melawan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Baginya, suara perempuan muda sangat penting untuk membawa perubahan sosial yang nyata.
Keterlibatan Afthoniya dalam dunia organisasi berawal dari keinginannya untuk tidak tinggal diam terhadap masalah sosial, khususnya yang menimpa perempuan. Ia percaya bahwa ruang publik adalah milik semua orang, dan perempuan pun berhak hadir serta didengar.
“Saya ingin suara saya menjadi penggerak perubahan, bukan hanya untuk saya sendiri, tetapi untuk semua perempuan yang belum berani bicara,” ujarnya.
Menjadi Presiden Mahasiswa bukanlah jalan yang mudah. Ia sempat menghadapi keraguan, bahkan dari orang-orang terdekat. Namun, tekadnya untuk mematahkan stereotip terhadap kepemimpinan perempuan membuatnya tetap melangkah. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa memimpin dengan baik, bijak, dan berpengaruh.
Dalam kapasitasnya sebagai Duta GenRe, Afthoniya menjalankan berbagai program kampanye yang menyasar remaja. Ia menekankan pentingnya kesiapan usia, mental, kesehatan reproduksi, hingga finansial sebelum membentuk keluarga. Ia juga mengajak anak muda untuk lebih sadar akan dampak negatif pernikahan dini dan minimnya edukasi keluarga.
Sementara di BEM, ia ingin mendorong terciptanya kampus yang menjadi ruang aman, adil, dan nyaman untuk proses, progres, hingga tumbuh bersama. Selain itu, ia juga ingin membantu menumbuhkan kesadaran mahasiswa untuk peduli terhadap masalah yang ada di sekitar, bukan hanya di internal kampus. Dengan itu, program kerja tidak hanya fokus pada pengembangan mahasiswa di internal, tetapi juga menyentuh langsung masyarakat.
Mengemban dua peran besar tentu tak lepas dari tantangan. Afthoniya mengaku mengandalkan manajemen waktu yang ketat dan membiasakan diri untuk mendelegasikan tugas. Ia juga selalu menempatkan akademik sebagai prioritas utama, apalagi kini ia memasuki tahap akhir kuliah.
Afthoniya memiliki cita-cita untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan isu perempuan dan anak muda. Ia juga bermimpi membangun komunitas yang bergerak di bidang pemberdayaan remaja di daerahnya.
“Saya berharap suatu hari nanti, saya bisa menjadi salah satu perempuan yang memiliki peran strategis sehingga bisa memberi dan mengambil kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap perempuan, baik di lembaga nasional maupun, syukur-syukur bisa internasional,” ujarnya.
Bagi Afthoniya, ibunya adalah sumber inspirasi terbesar. Sosok ibunya mengajarkan arti tanggung jawab, keberanian, dan keteguhan hati. Ketika rasa lelah datang, ia memilih untuk mengambil jeda, menjauh dari media sosial, dan menguatkan diri lewat dukungan orang-orang terdekat.
Pesan Afthoniya kepada generasi muda, khususnya perempuan: “Perempuan adalah rahim peradaban. Tetaplah berdaya dan berani bersuara, karena dari kita lahir perubahan.”
Reporter: Siti Maulidha/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia