
SOLUTIF, Tuban-(28/06/2025) — Mbah Wiso Negoro merupakan sosok kharismatik yang diyakini sebagai keturunan Kerajaan Mataram Islam, tepatnya dari Kesultanan Pajang yang berjaya pada abad ke-16. Dalam kisah yang diwariskan turun temurun, beliau disebut memilih mengasingkan diri dari pusat kekuasaan sekitar masa peralihan kekuasaan Pajang ke Mataram Islam, dan menempuh perjalanan ke arah timur sebagai bentuk laku spiritual serta pencarian makna hidup. Perjalanan tersebut akhirnya membawanya menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Pucangan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kehadiran beliau tidak hanya menjadi awal mula terbentuknya desa tersebut, tetapi juga membawa pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah sekitar.
Mbah Wiso Negoro diyakini sebagai keturunan bangsawan atau tokoh prajurit dari Kesultanan Pajang. Setelah terjadi dinamika politik dalam istana Pajang, beliau memilih untuk mengundurkan diri dan mengasingkan diri ke arah timur. Perjalanan itu membawanya hingga ke kawasan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Tuban.
Di wilayah inilah Mbah Wiso Negoro menetap dan kemudian dikenal sebagai sosok yang membawa ajaran Islam kepada masyarakat sekitar. Ia tidak hanya dihormati sebagai tokoh spiritual, tetapi juga dianggap sebagai pendiri atau cikal bakal terbentuknya Desa Pucangan. Kehadirannya diyakini menjadi titik awal berkembangnya kehidupan religius di wilayah ini yang hingga kini masih terjaga melalui tradisi dan budaya masyarakat.
Setiap bulan Suro (bulan pertama dalam kalender Jawa), warga Desa Pucangan rutin menggelar sedekah bumi di makam Mbah Wiso Negoro, bertepatan dengan Jumat Legi dalam sistem penanggalan Jawa. Acara ini tak hanya sekadar ritual, tetapi juga sarat dengan nilai ukhuwah dan spiritualitas.
“Sedekah bumi di sini tidak hanya bentuk syukur, tapi juga wujud pelestarian jejak Mbah Wiso Negoro sebagai penyebar Islam di desa ini,” ujar Pak Tohir, selaku modin (pemimpin doa dalam acara haul atau ziarah). Kegiatan ini biasanya diawali dengan pengajian, tahlil, dan ditutup dengan tradisi haul atau peringatan wafatnya beliau. Selain ritual keagamaan, masyarakat juga menggelar kenduri dan doa bersama.
Tak sekadar upacara adat, sedekah bumi ini menjadi momen kebersamaan warga Desa Pucangan. “Bukan hanya kami sedekah untuk alam, tetapi juga untuk meneguhkan persaudaraan antarwarga,” lanjut Pak Tohir. Prosesi ini menjadi perekat sosial dan memperkuat identitas religius serta historis masyarakat desa.
Bagi generasi muda, kisah Mbah Wiso Negoro menjadi pintu masuk untuk memahami hubungan antara sejarah lokal dan ajaran Islam. Melalui cerita-cerita lisan yang diwariskan turun temurun, figur beliau sebagai pewaris tradisi Islam Pajang tetap relevan, sembari menyelipkan nilai-nilai kesederhanaan dan keikhlasan.
Dengan adanya sedekah bumi setiap bulan Suro, tradisi ini berfungsi sebagai pengingat atas derap perjalanan dakwah sejak era kerajaan hingga masa modernisasi desa. Masyarakat pun memandang kegiatan ini sebagai ajang edukasi moral dan spiritual tentang pentingnya menghormati leluhur dan menjaga harmoni dengan alam.
Reporter: Natasya Sahana/ Siva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia