
SOLUTIF, Tuban-(04/07/2025) — Di balik lebatnya pepohonan di wilayah selatan Kabupaten Tuban, tersimpan kisah sejarah yang masih hidup di hati masyarakat Desa Jetak, Sumurgung, dan Lebak. Kisah ini bermula dari seorang tokoh bernama Raden Bambang Utomo, yang disebut-sebut merupakan putra Raja Majapahit dari istri keempat. Hal tersebut disampaikan oleh Kiai Sarkam, juru kunci Makam Keremate sekaligus pengelola Mushala Al-Huda, yang menyatakan bahwa Raden Bambang Utomo datang ke wilayah ini pada masa peralihan kekuasaan antara Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Demak, ketika terjadi konflik internal yang melibatkan perbedaan keyakinan dalam keluarga kerajaan, di mana sebagian beragama Hindu-Buddha dan sebagian lain, termasuk Bambang Utomo, memeluk Islam dan bergabung dengan pasukan Raden Patah.
Dalam konflik antara Kerajaan Demak dan Majapahit, Raden Bambang Utomo ikut serta dalam penyerangan ke Majapahit. Namun, setelah peperangan usai, ia memutuskan untuk menyebarkan Islam secara mandiri dengan pakaian compang-camping layaknya orang miskin dan persediaan makanan yang telah habis, dalam perjalanannya menuju wilayah Tuban.
Sesampainya di wilayah Jetak, ia hadir dalam acara sedekah bumi atau manganan yang berlangsung di Bendungan Jetak, tepat di belakang Madrasah Aliyah Tarbiyatul Banin-Banat (MA TBB). Dalam acara itu, terjadi peristiwa yang membuat warga terheran-heran. Setiap kali ia diberi makanan, makanan tersebut habis dalam sekejap. Makanan itu ternyata diberikan kepada anak yatim di suatu tempat. Entah bagaimana caranya, beliau mengantarkan makanan tersebut dalam waktu sekejap, sedangkan beliau pada saat itu tidak beranjak dari tempatnya, yaitu di bendungan saat acara manganan.
Tak lama kemudian, Raden Bambang Utomo wafat di tempat tersebut. Warga pun memakamkannya di sekitar bendungan. Namun, malam harinya muncul cahaya terang seperti api dari arah makam, membuat masyarakat Jetak, Sumurgung, dan Lebak ketakutan. Akhirnya, mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk memindahkan makamnya ke lokasi yang berada tepat di antara ketiga desa tersebut.
Uniknya, karena semasa hidup beliau dikenal dengan penampilan yang sederhana dan berpakaian compang-camping layaknya orang miskin, maka warga menamai makam tersebut dengan sebutan Keremate, gabungan dari kata kere dalam bahasa Jawa yang berarti “miskin” dan mate yang berarti “meninggal”.
Menurut Kiai Sarkam, juru kunci makam sekaligus pengelola Mushala Al-Huda yang berdiri di dekat makam, keberadaan Raden Bambang Utomo memberikan nilai spiritual yang mendalam bagi warga. “Beliau adalah sosok yang luar biasa. Dari penampilan luarnya mungkin tak ada yang menyangka siapa beliau sebenarnya,” ujar Kiai Sarkam.
Kiai Sarkam juga menambahkan bahwa makam tersebut kini ramai dikunjungi warga yang ingin berziarah atau mengikuti kegiatan keagamaan. “Di Mushala Al-Huda, kami rutin mengadakan jamaah salat, mengaji TPQ, dan kegiatan lainnya. Tempat ini bukan hanya situs sejarah, tapi juga pusat spiritual bagi warga,” jelasnya.
Kisah Raden Bambang Utomo dan Makam Keremate mengajarkan satu hal penting: jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilannya. Semangat perjuangan dan kesederhanaannya terus dikenang, menjadikan makam ini tidak hanya sebagai tempat peristirahatan, tetapi juga sebagai warisan nilai dan kearifan lokal.
Reporter: Natasya Sahana/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia