
Tuban, 3 Mei 2025 – Pembatalan diskon listrik yang sebelumnya dijanjikan untuk bulan Juni 2025 menuai reaksi keras dari masyarakat. Keputusan Pemerintah untuk membatalkan diskon listrik yang sedianya berlaku pada bulan Juni 2025 telah menimbulkan gelombang kekecewaan yang meluas di kalangan masyarakat. Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi dan tekanan inflasi yang masih terasa, kebijakan ini sontak menuai kritik dan menyisakan pertanyaan besar tentang prioritas pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Sejak awal, diskon listrik menjadi salah satu bentuk stimulus yang diharapkan dapat meringankan beban ekonomi rumah tangga, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Harapan akan adanya sedikit “Napas” di tengah gempuran kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya, kini harus pupus.
Pembatalan ini bukan sekadar urusan nominal Rupiah, melainkan juga menyangkut kepercayaan publik dan harapan akan adanya kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Meskipun nilai diskonnya tidak besar, keberadaannya cukup membantu meringankan beban pengeluaran rutin. Maka tidak heran jika kabar pembatalan tersebut disambut dengan kekecewaan, bahkan kemarahan disejumlah kalangan. Di media sosial, berbagai komentar bernada protes bermunculan. Sebagian menyebut pemerintah “Ingkar Janji“, sementara yang lain menyoroti kurangnya komunikasi yang jelas mengenai alasan pembatalan tersebut. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan prioritas anggaran Negara, mengapa subsidi untuk rakyat kecil dipangkas, sementara belanja proyek besar tetap jalan terus?
”Saya sudah nunggu-nunggu bareng istri, eh batal. Padahal awal tahun 2025 itu sangat membantu. Isi Rp 500.000 itu kan seperti Rp 1 juta. Itu bisa dua bulan,” ucap Kurniawan, Warga Kemang, Jakarta Selatan, yang dikutip dari Liputan6.com.
Pemerintah sendiri berdalih bahwa pembatalan diskon ini dilakukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendorong masyarakat lebih mandiri dalam konsumsi energi. Namun argumen tersebut dinilai kurang bijak ditengah daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya. Rasionalisasi anggaran tentu diperlukan, tetapi bukan dengan mengorbankan kelompok paling rentan. Pembatalan ini juga bisa berdampak secara psikologis. Kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat menurun jika kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar seperti listrik diputuskan secara sepihak tanpa proses sosialisasi dan partisipasi publik yang memadai. Beberapa masyarakat merasa menyesal karena sudah merencanakan penggunaan dana berdasarkan adanya diskon listrik. Insiden pembatalan diskon listrik ini harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Ke depan, perencanaan kebijakan stimulus ekonomi perlu dilakukan dengan lebih matang, komprehensif, dan melibatkan semua pihak terkait sejak awal. Wacana yang dilontarkan ke publik seharusnya telah melewati tahap kajian mendalam, termasuk kesiapan anggaran dan mekanisme implementasi.
Masyarakat membutuhkan kepastian dan kebijakan yang dapat diandalkan. Diskon listrik mungkin bukan satu-satunya solusi, tetapi pembatalannya tanpa persiapan komunikasi yang memadai dapat mengikis kepercayaan. Pemerintah perlu terus berinovasi dalam mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan daya beli masyarakat, namun dengan perencanaan yang lebih transparan dan koordinasi yang lebih solid agar tidak lagi menimbulkan “drama” kebijakan di kemudian hari. Kedepannya, pemerintah perlu lebih transparan dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Jika memang diskon listrik harus dihentikan, maka perlu ada skema transisi atau kompensasi yang adil, bisa berupa bantuan langsung tunai atau kebijakan tarif yang lebih progresif. Di tengah tantangan ekonomi global, kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil bukan hanya soal empati, tapi juga soal menjaga stabilitas sosial. Jangan sampai keputusan yang tampak kecil di atas kertas, menjadi pemicu besar di lapangan.
Reporter : Dea Catur Wahyu Ambarwati / Khoirul Fatimah / M. Sandy Prakoso