
Tuban – Pada akhir Februari 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar terkait isu bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang diduga dioplos dengan Pertalite. Isu ini muncul setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan yang melibatkan PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam periode 2018–2023. Penyelidikan menemukan indikasi bahwa Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) di tempat penyimpanan BBM, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun pada tahun 2023. (10/03/2025)
Dugaan pengoplosan Pertamax dengan Pertalite yang dilakukan oleh Pertamina menjadi tamparan keras bagi rakyat yang selama ini telah terbebani oleh harga bahan bakar yang tinggi. Alih-Alih mendapatkan kualitas yang bagus dengan harga sepadan, Masyarakat justru dipaksa menggunakan produk oplosan.
Tindakan pengoplosan ini sangat merugikan banyak pihak. Pertama, kualitas bahan bakar menjadi tidak sesuai standar yang dapat merusak mesin kendaraan dalam jangka panjang. Kedua, kadar emisi gas dari BBM oplosan cenderung lebih tinggi, yang mengakibatkan pada pencemaran udara. Ketiga, pemerintah mengalami kerugian karena subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran. Keempat, citra perusahaan yang sudah dibangun Pertamina harus rusak akibat dari keserakahan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, praktik ini juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan energi nasional.
Pengoplosan pertalite ini memiliki dampak luas baik terhadap individu, lingkungan, krisis kepercayaan masyarakat, maupun perekonomian negara. Jika dibiarkan, praktik ini akan terus merugikan masyarakat dan menghambat upaya pemerintah dalam menciptakan ekosistem energi yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Tindakan ini jelas melanggar berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, tidak boleh ada kompromi dalam menangani kasus ini, Dan Tidak boleh ada celah bagi pelaku untuk lolos dari jeratan hukum.
Reporter: Dea Catur Wahyu Ambarwati/Nofiana