
Tuban – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI menjadi sebuah undang-undang dalam rapat paripurna DPR, Kamis (20/3/2025), menimbulkan reaksi beragam dari sejumlah Akademisi dan mahasiswa di Tuban. Pasalnya, RUU ini berisi perubahan-perubahan yang menjerumus kembali ke era orde baru. Yang mana, TNI yang seharusnya fokus pada militer dan pertahanan, sekarang dengan adanya RUU ini bisa masuk ke ranah sipil dan politik yang lebih luas.
Salah satunya disuarakan oleh Presiden Mahasiswa BEM Unirow periode 2025 Afthoniya Nurin Nadhifa, yang mengatakan bahwa pembahasan RUU TNI yang saat ini ramai diperbincangkan mengundang banyak pertanyaan dan kekhawatiran.
“Militer yang terlalu banyak terlibat dalam urusan sipil dapat mengancam demokrasi dan melemahkan supremasi sipil. Bukan hanya substansinya yang diperdebatkan, proses pembahasannya pun menjadi terlalu cepat, minim transparansi, dan kurang melibatkan publik. Jika aspirasi masyarakat tidak didengar, apakah kebijakan ini masih bisa dikatakan sebagai bagian dari demokrasi?,” ucap Afthoniya.
Protes lebih keras juga disuarakan oleh Kementrian Politik Hukum & HAM BEM Unirow 2025 Shobihul Ma’arif yang menolak adanya RUU TNI itu disahkan.
“Jika tidak dikaji lebih dalam dan disusun dengan prinsip demokrasi, RUU ini berpotensi menjadi langkah mundur bagi reformasi militer di Indonesia,” Tegasnya.
Tak hanya Presiden BEM dan Kementrian POLHUKAM BEM Unirow, ketua umum Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Unirow Dina Afiya juga kaget dengan pengesahan RUU TNI jadi undang-undang yang baru, padahal selama ini masyarakat belum banyak yang paham dan tahu isi draft UU yang baru, tiba-tiba rapat dan disahkan.
“Tentang adanya RUU TNI tersebut saya tidak setuju. karena nantinya dapat berpotensi membuka kembali praktik dwifungsi ABRI (orba) yang seharunya memang sudah dihapus pasca reformasi,” Ujar Dina.
Salah satu dosen sekaligus Kaprodi Ilmu Politik, Universitas Ronggolawe Tuban, Sri Musrifah, S.IP, M.IP juga mengutarakan kecemasannya terkait RUU TNI yang terlalu terburu-buru dan tidak transparan ke publik.
“Kita sudah belajar dari sejarah bahwa, militer yang terlalu banyak terlibat dalam urusan sipil dapat mengancam demokrasi dan melemahkan supremasi sipil. Selain itu bukan hanya substansinya yang diperdebatkan, proses pembahasannya pun menjadi sorotan karena terlalu cepat, minim transparansi, dan kurang melibatkan publik,” Ujar Ibu Sri Musrifah.
Reporter: Elisa Dwi Rahmawati / M Sandy Prakoso