
Tuban (09/05/2025) – Setiap desa menyimpan jejak waktu dan cerita uniknya, tak terkecuali Desa Bektiharjo. Alih-alih catatan tertulis, sejarah lisan seringkali menjadi penjaga memori kolektif, diwariskan melalui dongeng dan tuturan dari generasi ke generasi. Seperti salah satu kisah paling populer tentang asal muasal Bektiharjo yang diceritakan oleh mbah Hartono, berakar pada pertengahan abad ke-18, sebuah era pasca-pergolakan besar di tanah Jawa. Masa itu, pesanggrahan (semacam padepokan atau tempat peristirahatan spiritual) yang terletak di dekat sumber mata air menjadi tujuan kedatangan banyak bangsawan dari berbagai kerajaan. Dalam situasi peperangan saudara yang berkecamuk, Tuban menjadi salah satu wilayah pelarian yang dicari.
Kisah berlanjut ketika serombongan bangsawan dan prajurit yang terdesak oleh peperangan memilih jalur air. Mereka menaiki perahu dan akhirnya singgah untuk beristirahat serta mencari perlindungan di suatu tempat yang agreng (teduh dan nyaman). Tempat peristirahatan itu tak lain adalah pesanggrahan yang menghadap seorang panebahan (pemimpin spiritual atau tokoh terhormat). Para bangsawan yang kalah perang ini datang dengan maksud ngabekti (mengabdikan diri atau meminta perlindungan) di padepokan tersebut.
Kabar mengenai kedatangan para bangsawan dan ramainya tempat itu dengan para pejabat yang ikut sowan (menghadap dan menghormati) sang panembahan menyebar luas. Guna memudahkan penyebutan dan mengingat tempat tersebut, sang panembahan kemudian menamainya Bektiharjo, sebuah nama yang diambil dari kata ngabekti (bakti) dan asri harjo (tempat yang teduh dan ramai).
Legenda ini diperkuat dengan keberadaan sebuah batu besar yang menyerupai perahu, diyakini sebagai peninggalan rombongan pelarian tersebut. Selain itu, salah satu bangsawan yang ikut dalam rombongan dan akhirnya seda (meninggal dunia) di tempat itu adalah Janur Wendo, yang dimakamkan di atas sumber mata air.
Hingga kini, area sekitar makam Janur Wendo dan sumber mata air menjadi ramai dikunjungi wisatawan, baik dari Tuban maupun luar kabupaten. Daya tarik utamanya adalah sendang (kolam) renang dengan airnya yang jernih dan asri, yang dulunya dipercaya sebagai tempat pemandian para bangsawan. Menurut Mbah Hartono, juru kunci Sendang Bektiharjo, terdapat empat lokasi makam bangsawan di kawasan tersebut, yaitu makam Janur Wendo, Wali Syaikh Abdul Rahman, Syaikh Patih, dan Syaikh Abdul Wahab, yang menjadi bukti persinggahan penting di Bektiharjo.
“Kuburan para bangsawan ini memiliki 4 lokasi yang pertama ini makam Janur Wendo, Wali Syaikh Abdul Rahman, Syaikh Patih, Syaikh Abdul wahab. Bahwa ini bukti beberapa persinggahan Bektiharjo,” ujar Mbah Hartono selaku juru kunci Sendang Bektiharjo
Sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, pengunjung di kawasan pemakaman diimbau untuk menjaga kesopanan dan tidak berkata kotor. Kepercayaan masyarakat setempat terhadap kesucian tempat ini turut melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya. Transformasi kawasan ini menjadi objek wisata pemandian dimulai sekitar tahun 1952, di bawah kepemimpinan kepala desa pertama, Basio. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan desa sekaligus menghormati hubungan baik dengan Bupati Tuban pada masa itu.
“pembangunan wisata pemandian Bektiharjo ini kurang lebih pada tahun 1952 setelah dipimpin kepala desa pertama untuk meningkatkan pendapatan dan menghormati hubungan di masa lalu dari Bupati Tuban,’’ tambahnya.
Sumber air dari Bektiharjo juga memiliki peran vital sebagai pemasok air bersih bagi kawasan sekitar, bahkan kini telah menjangkau hingga tiga dusun dan beberapa pabrik. Selain makam dan sumber airnya, Bektiharjo juga dikenal dengan populasi kera yang mencapai ratusan. Keberadaan kera ini menambah daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.
Reporter: Ahmad Al Amin / Natasya Sahana / S. Fadhilah N. I.