SOLUTIF

Pertujukan metamorisif kehidupan di ladang sampah antara akhir atau berkah

Pemulung sedang memilah sampah plastik yang layak

TUBAN, 24 Januari 2025 – Pemandangan gersang dan tamparan bau tak sedap sering tak terelakkan menyelimuti tempat pembuangan akhir (TPA) Gunung Panggung. Di sinilah perjalanan limbah masyarakat Kabupaten Tuban berkumpul. Tak hanya dipandang sebagai tumpukan sampah, namun TPA yang memiliki luas 4,2 hektar tersebut juga menjadi tambang emas bagi pemulung.

Setiap harinya, TPA Gunung Panggung mendapatkan kiriman sampah dari 6 kecamatan, setidaknya ada sebanyak 100 ton sampah yang terus menerus datang. TPA Gunung Panggung mengadaptasi metode pengolahan Controlled Landfill, yaitu menumpuk sampah dan memadatkannya, kemudian ditimbun dengan tanah serta ditutup terpal dengan tujuan meminimalisir bau yang menyengat.

“Kami menggunakan teknik controlled landfill, menumpuk sampah lalu ditutup terpal. Bisa dilihat, ini dilakukan karena bau yang menyebar,” ucap Surjono, Koordinator TPA.

TPA Gunung Panggung merupakan TPA yang menampung jenis sampah organik dan anorganik, di mana sampah organik biasanya didapatkan dari sisa limbah rumah tangga, berupa sisa makanan, kardus, dan produk makanan yang telah melewati masa kadaluarsanya. Sedangkan sampah anorganik berasal dari bahan yang tak mudah terurai, seperti plastik kresek, karet, dan sebagainya.

Sampah organik dikelola oleh TPA untuk dijadikan pupuk dengan cara memotong dan meleburkan sampah-sampah organik tersebut, lalu dilakukan proses pengomposan. Nanti, pupuk kompos yang dihasilkan akan didistribusikan ke wilayah daerah dan sekolah. Dalam keterangannya, Surjono menjelaskan jika sampah organik akan dikelola dengan sangat baik agar tidak menimbulkan bau.

“Kita di sini, kalau ada sampah organik, akan dikelola di pabriknya sendiri, dikumpulkan, lalu diproses. Nah, hasil proses itulah yang kita berikan ke sekolah atau RT/RW jika ada yang membutuhkan tanpa dipungut biaya,” tuturnya,kamis (24/01/2025).

Surjono menambahkan jika ada sampah yang berasal dari ranting dan kayu sisa penataan kota, maka akan dileburkan menjadi bubuk kayu, sehingga bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan.

Sedangkan sampah anorganik akan dimanfaatkan oleh pemulung sekitar. Setidaknya ada 40 pemulung yang mencari peluang mengais sampah plastik di padang sampah Gunung Panggung. Sampah yang dikumpulkan oleh pemulung nantinya akan diberikan kepada pengepul untuk ditimbang.

Jenis sampah plastik yang menjadi sumber mata pencarian pemulung adalah sampah plastik kresek, botol dan gelas plastik, serta sampah kemasan saset. Seperti yang diungkapkan Supirah (58), warga Desa Gedongombo yang berprofesi sebagai pemulung, mengatakan bahwa TPA ini sudah menjadi sumber pencarian. Memang tak banyak yang dia dapatkan dari memulung, namun setidaknya bisa menunjang kehidupannya.

“Ya sudah jadi kegiatan rutian keliling ke TPA dulu ngambil sampah terus dibawa kesini,walaupun nggak seberapa yang penting bisa buat maka besok”,Ucapnya.

Jika mendengar kata pemulung, memang terbesit di benak kita adalah pekerjaan yang kotor karena harus berurusan dengan sampah. Namun, pemulung yang ada di TPA Gunung Panggung menjadi kunci utama keberlangsungan ekosistem di tempat tersebut. Pasalnya, sampah yang menumpuk bisa diambil manfaatnya oleh pemulung sekitar, sehingga menjadikannya sumber pencarian sehari-hari, layaknya sedang menambang di gunung emas. Berkat adanya pemulung, hampir 60% sampah dapat didaur ulang sehingga tak terlalu menumpuk.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sampah yang dibuang ke TPA Gunung Panggung, yang sebelumnya dianggap tidak berguna, ternyata dapat menjadi sumber kehidupan bagi pemulung sekitar yang mencari rejeki dari sisa-sisa yang ada. Sampah yang terbuang dengan sia-sia ini justru memberi manfaat ekonomi yang tidak terduga bagi mereka yang berjuang untuk bertahan hidup. (Muhammad Marcelino Ade Pranoto/Fuad)

Reporter : Muhammad Marcelino Ade Pranoto

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top