SOLUTIF

Garam Tak Bisa Panen, Petani Menjerit dalam Diam

Petani garam di Brondong, Lamongan, tetap mengolah tambak di tengah cuaca tak menentu.

SOLUTIF, Lamongan-(11/07/2025) —  Di tengah panas yang tak menentu dan hujan yang datang tanpa permisi, petani garam di pesisir Lamongan kembali dibuat resah. Musim kemarau yang diharapkan menjadi waktu emas untuk produksi garam justru berubah menjadi musim penuh tanda tanya. Cuaca yang tidak menentu dalam beberapa bulan terakhir mengacaukan proses panen, membuat sebagian besar petani garam terpaksa menunda, bahkan mengubur harapan mereka akan panen tahun ini.

Petani garam hidup dalam ketergantungan penuh pada cuaca. Proses pembuatan garam tradisional sangat bergantung pada sinar matahari yang konsisten selama beberapa minggu. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, harapan akan musim kemarau yang stabil kini menjadi angan-angan. Hujan yang turun di saat tak terduga telah merusak ladang-ladang garam yang sudah disiapkan dengan susah payah. Sebagian bahkan sudah mulai mengkristal namun kembali mencair, sia-sia.

“Sudah dua kali saya isi petakan dengan air laut, baru mulai mengkristal, eh malamnya hujan. Padahal saya sudah keluarkan jutaan rupiah untuk modal. Sekarang cuma bisa pasrah,” ungkap Suraji, petani garam asal Brondong, Lamongan.

Produksi garam rakyat di Indonesia memang belum beranjak dari teknologi tradisional. Petani masih mengandalkan cara-cara konvensional dengan memanfaatkan lahan terbuka, sinar matahari, dan penguapan alami. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap cuaca. Sedikit perubahan suhu atau kelembapan bisa membuat hasil panen gagal total. Perubahan iklim global menjadi musuh dalam diam. Kemarau basah dan musim penghujan yang molor jadwalnya telah menciptakan kekacauan dalam siklus produksi garam.

“Kami dulu bisa memulai panen garam bulan Juni, tapi sekarang sudah pertengahan Juli, langit masih sering mendung dan hujan datang tiba-tiba,” keluhnya.

Gagal panen bukan hanya berarti kehilangan hasil, tapi juga berarti kehilangan pendapatan yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup bagi ribuan keluarga petani garam. Dengan minimnya akses terhadap asuransi pertanian, tidak adanya jaminan harga, serta belum maksimalnya peran pemerintah dalam menjamin kestabilan produksi garam rakyat, petani dibiarkan menanggung risiko sepenuhnya. Beberapa petani bahkan terpaksa meminjam modal dari rentenir untuk membeli alat dan memperbaiki tambak. Ketika gagal panen terjadi, bukan hanya kerugian materi yang menghantui, tetapi juga jeratan utang yang menumpuk.

Ironisnya, ketika garam lokal tidak bisa dipanen, pemerintah kerap membuka keran impor dengan alasan kebutuhan industri. Kebijakan ini sering dianggap menyakiti hati para petani yang berjuang di bawah terik dan hujan.

“Kami belum panen, tapi sudah diumumkan impor masuk. Garam luar datang saat garam kami belum jadi. Ini seperti menutup peluang kami bahkan sebelum kami bisa memulainya,” ujarnya.

Langkah ini juga berdampak pada harga garam lokal. Meski gagal panen, harga garam tidak kunjung naik signifikan karena pasar sudah terlanjur dijejali garam impor yang lebih murah dan stabil kualitasnya. Akibatnya, petani garam rakyat harus menjual hasil yang seadanya dengan harga rendah, bahkan tidak menutup biaya produksi.

Sudah saatnya pemerintah hadir bukan hanya sebagai pengatur, tapi juga sebagai pelindung petani garam. Program modernisasi tambak, pengembangan teknologi rumah kaca pengeringan, serta sistem peringatan dini cuaca harus segera diterapkan secara masif. Tidak cukup dengan seremoni bantuan, petani garam membutuhkan sistem yang konkret. Asuransi pertanian berbasis cuaca perlu dikembangkan khusus bagi petani garam. Hal ini akan membantu mereka mendapat kompensasi saat terjadi gagal panen akibat cuaca ekstrem. Selain itu, pembentukan koperasi dan badan usaha milik petani bisa membantu menstabilkan harga, menyediakan alat produksi, serta memberi pelatihan adaptasi terhadap perubahan iklim.

“Kalau terus seperti ini, lima sampai sepuluh tahun ke depan mungkin tidak ada lagi generasi muda yang mau jadi petani garam,” imbuhnya.

Di balik sejumput garam yang tersaji di meja makan, tersembunyi kisah panjang keringat dan perjuangan. Ketika mereka tidak bisa panen, itu bukan hanya soal tidak adanya garam, tapi soal kehidupan yang terancam. Mereka menjerit dalam diam, berharap ada tangan yang terulur. Bukan sekadar belas kasihan, tapi keberpihakan yang nyata. Jika kita ingin kemandirian garam tidak hanya menjadi jargon tahunan, maka perhatian pada petani garam, terutama di masa sulit seperti ini, harus menjadi prioritas. Mereka bukan hanya produsen, mereka adalah penjaga rasa, penjaga masa depan.

 

Reporter: Rina Mei Zul Afifah/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top