
SOLUTIF – Sejak mentari belum sepenuhnya naik pada tanggal (10/7/2025) , denyut Kota Tuban sudah terasa berbeda. Jalanan yang biasanya lengang perlahan dipadati langkah-langkah para peziarah. Dari berbagai penjuru Jawa hingga luar pulau, mereka datang membawa satu tujuan: berziarah dan mengikuti Haul Sunan Bonang, sang wali yang jejaknya tak lekang oleh zaman.
Haul tahun ini terasa istimewa. Bahkan jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ribuan orang tumplek blek memadati kawasan Makam Sunan Bonang sejak pagi, menjadikan kota ini lautan manusia dan lautan doa.
Sepanjang gang sempit menuju kompleks makam, lantunan sholawat bergema dari corong-corong masjid dan bibir-bibir para peziarah. Ada yang membaca dengan lirih, ada pula yang bersenandung bersama rombongan. Beberapa duduk khusyuk di sekitar cungkup makam, menunduk dengan air mata menetes pelan — tenggelam dalam doa dan kerinduan spiritual.
“Rasanya seperti pulang. Ziarah ke makam Sunan Bonang itu bukan sekadar ritual, tapi penyambung hati kami dengan para leluhur,” ujar Bu Rifah (46), peziarah asal Jombang yang datang bersama keluarga besarnya.
Di sekitar makam, masyarakat Tuban menyambut dengan tangan terbuka. Jalanan dipenuhi pedagang kaki lima yang menjajakan minuman segar, pecel khas Tuban, hingga cenderamata islami. Aroma makanan tradisional bercampur haru dan semangat kebersamaan. Ibu-ibu setempat, remaja masjid, hingga bapak-bapak RT semua terlibat. Rumah-rumah warga dibuka untuk menampung para peziarah yang tak kebagian penginapan.
“Ini bukan cuma haul, ini hajatan batin bagi kami. Ada kebanggaan dan ada cinta di sini,” ujar Ibu Marfu’ah (52), warga Kelurahan Kutorejo yang setiap tahun rutin menyediakan konsumsi gratis untuk para tamu haul.
Tak sedikit peziarah yang sudah datang dua hingga tiga hari sebelumnya, menginap dan menunggu puncak acara yang akan digelar malam ini. Menjelang sore, suasana makin padat. Anak-anak kecil tampak berlarian di sela kerumunan, membawa bendera bertuliskan “Haul Mbah Bonang 2025”. Pedagang tersenyum puas, dagangan laris manis — ekonomi rakyat pun ikut bergerak.
“Baru jam dua siang, minuman herbal saya udah hampir habis,” kata Pak Sarto, penjual jamu.
Tadi malam, puncak haul sudah digelar dalam bentuk pengajian akbar di depan Masjid Agung Tuban yang megah, ditengah Alun-Alun kota Tuban. Panggung sudah dihias cantik dengan ornamen islami, dan petugas keamanan tampak sigap mengatur arus pengunjung. Semua menanti satu momen: tausiyah dari KH. Anwar Zaid, ulama kharismatik asal Bojonegoro yang dikenal dengan ceramah segar dan menyentuh hati.
“Saya bela-belain dari Lamongan, biar bisa denger langsung tausiyah Kiai Anwar. Ini haul yang saya tunggu tiap tahun,” ucap Dimas (21), mahasiswa yang datang bersama lima temannya dengan naik motor sejak subuh.
Haul Sunan Bonang tak hanya menjadi ziarah spiritual. Ia adalah pesta keimanan, perayaan tradisi, dan bukti bahwa ajaran Wali Songo masih berdenyut di tengah masyarakat. Setiap tumpah ruah manusia, setiap doa yang melangit dari makam Mbah Bonang, adalah pengingat bahwa cinta pada ulama tidak pernah padam — hanya terus diwariskan.
Reporter: Rhofi Dzar Tsania / M. Sandy Prakoso / Siti Fadhilah Nur Ilma