SOLUTIF

Suran di Tuban: Nilai Moral yang Dirawat

Warga Desa Pakel, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, tengah mengikuti tradisi kenduri Suran di perempatan jalan.

SOLUTIF, Tuban-(28/06/2025) Setiap bulan Suro, warga Desa Pakel di Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, menggelar tradisi Suran sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan usaha menolak balak. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Suran dilakukan di perempatan jalan desa ketika sore menjelang senja, menunjukkan nilai-nilai spiritual dan sosial yang hidup di tengah masyarakat. Tradisi ini tidak sekadar seremoni, tetapi mencerminkan cara pandang terhadap dunia yang bersahaja, menyatu dengan alam, dan penuh penghormatan terhadap leluhur.

Pelaksanaannya dilakukan secara sederhana dan penuh makna. Warga berkumpul di simpang jalan, membawa ambeng, menyebar bunga, serta menyembelih ayam jago sebagai simbol pengorbanan. Doa bersama dipanjatkan dengan khidmat, tanpa panggung atau sorotan. Ini bukan ritual mistik, tetapi cara masyarakat meletakkan harapan pada titik-titik yang dianggap rawan dan penuh kemungkinan. Persimpangan jalan menjadi metafora tentang hidup yang penuh pilihan dan ketidakpastian, serta keyakinan akan kekuatan kebaikan dan kebersamaan.

Seekor ayam jago yang dipelihara dan kemudian disembelih bukan hanya hewan kurban, melainkan simbol ketulusan niat. Semakin besar usaha dalam memeliharanya sendiri, semakin tinggi makna pengorbanannya. Ambeng yang dibagikan kepada tetangga tidak sekadar makanan, tetapi menjadi pengikat silaturahmi. Kundangan yang disesuaikan dengan weton bukan hal mistis, melainkan bagian dari cara komunitas menjaga irama kehidupan bersama secara fleksibel dan saling memahami.

Di tengah derasnya modernitas, tradisi seperti Suran sering dipinggirkan atau dijadikan tontonan belaka. Namun Suran di Tuban mengingatkan bahwa budaya lahir dari kebutuhan manusia untuk merasa aman, terhubung, dan bermakna. Nilai-nilai seperti gotong royong, tenggang rasa, kesadaran akan keterbatasan diri, serta hubungan spiritual dengan leluhur bukan peninggalan masa lalu, tetapi kebutuhan zaman sekarang saat manusia makin terputus dari akar sosial dan spiritualnya.

Suran menyampaikan kritik sosial secara halus bahwa hidup tidak hanya tentang efisiensi, tetapi juga empati. Keselamatan tidak semata perkara infrastruktur, tetapi juga menyangkut doa dan kesadaran kolektif. Kekuatan tidak hanya dimiliki negara atau birokrasi, tetapi juga rakyat yang duduk bersila di jalan desa dan menabur bunga dengan penuh harap akan keselamatan bersama.

Tradisi ini tidak butuh panggung megah atau dokumentasi viral. Ia tetap hidup karena dipercaya dan dijalankan. Warisan budaya semacam ini tidak akan bertahan hanya karena dilestarikan dalam bentuk acara, tetapi karena dirawat sebagai nilai hidup yang mengakar dan dijalani dalam keseharian.

Ketika berbicara tentang budaya, jangan hanya berhenti pada ritual. Lihatlah nilai moral yang menyertainya. Jangan hanya bertanya apa yang dilakukan, tetapi mengapa dilakukan. Dari sanalah kita belajar bahwa menjaga warisan bukan hanya mempertahankan bentuk, melainkan juga menyuburkan akar yang menjadikannya tumbuh. Suran di Tuban adalah salah satu akar itu. Ia mungkin tidak mencolok, tetapi menopang nilai kehidupan yang lebih besar daripada sekadar tradisi.

Sudah saatnya masyarakat, pemerintah, dan generasi muda bersama-sama tidak hanya melestarikan bentuk budaya seperti Suran, tetapi juga menghidupi nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan begitu, kita tidak sekadar menjaga tradisi, tetapi juga membangun peradaban yang berakar dan berjiwa.

 

Reporter: Moh. Najib Aufani/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top