
SOLUTIF, Tuban- (20/06/2025) — Ketika dua pria berinisial J (40) dan AJ (30) ditangkap oleh Satreskrim Polres Tuban atas tuduhan menyebarkan konten asusila melalui grup Facebook “Gay Tuban,” sebagian publik merasa perkara ini adalah kemenangan moral. Bukti digital, tangkapan layar unggahan, dan sejumlah barang pribadi dijadikan legitimasi hukum untuk menjadikan keduanya tersangka. Namun, di balik itu semua, kita mesti bertanya: apa sebenarnya yang sedang diadili — tindakannya, atau identitas mereka?
Selain peristiwa kriminal, peristiwa ini adalah potret betapa hukum di negeri ini bisa begitu mudah digunakan untuk mengadili mereka yang berbeda secara seksual dan sosial. Lihat saja bagaimana narasi yang dibentuk aparat begitu cepat menyebut adanya “kelainan seksual.” Sebuah istilah yang tak hanya kabur secara medis, tapi juga sangat sarat stigma. Perkara menjadi gay — yang dalam hukum Indonesia tidak secara eksplisit dilarang, malah dikaitkan dengan penyimpangan, seolah orientasi seksual tertentu adalah akar dari kerusakan moral bangsa.
Jika kita menelusuri penjelasan polisi, tidak ada bukti bahwa para tersangka menyebarkan konten asusila secara massal ke ruang publik. Mereka berada dalam grup tertutup, dengan anggota yang memiliki kesadaran kolektif. Apakah aktivitas di ruang pribadi, yang tidak ditujukan untuk umum, layak dijatuhi stigma hukum yang sama seperti penyebar konten vulgar di ruang publik?
Lebih dari itu, barang bukti yang disita, alat bantu seks, kartu permainan Truth or Dare, ponsel pribadi, disorot seolah menjadi lambang penyimpangan. Tapi mari jujur, dalam banyak kehidupan rumah tangga heteroseksual, benda-benda semacam itu bukan hal yang asing. Namun hanya karena pelakunya minoritas seksual, semuanya tiba-tiba menjadi barang bukti kriminal.
Kita dihadapkan pada ironi yang getir. Negara yang katanya menjunjung tinggi keberagaman, nyatanya masih gagap dan gemetar saat harus berhadapan dengan realitas yang tak sesuai norma mayoritas. Dalam banyak kasus, hukum bukanlah pisau adil yang tajam ke segala arah. Ia bisa menjadi alat untuk membungkam kelompok yang selama ini tidak dianggap layak untuk bersuara.
Yang lebih mencemaskan, kasus ini menunjukkan bagaimana aparat penegak hukum masih beroperasi dengan nalar moralistik. Penegakan hukum yang semestinya netral dan berbasis data, berubah menjadi panggung penghakiman yang sarat tafsir pribadi dan tekanan sosial. Ketika AKP Dimas Robin Alexander menyebut bahwa para tersangka memiliki “penyimpangan seksual,” ia secara tidak langsung sudah menetapkan posisi: bahwa orientasi seksual tertentu adalah salah. Ini bukan sekadar bahasa, ini adalah sikap institusional.
Sudah saatnya kita mengakui bahwa sebagian besar dari kita belum siap hidup dalam masyarakat yang benar-benar inklusif. Kita masih menyukai citra keteraturan, laki-laki menikah dengan perempuan, punya anak, hidup dalam pakem norma mayoritas. Dan ketika ada yang menyimpang dari skema ini, kita buru-buru menyematkan label “menyimpang,” “tidak normal,” bahkan “berbahaya.”
Namun, fakta sosial tidak bisa disangkal. Komunitas LGBTQ+ di Indonesia nyata adanya. Mereka bukan produk barat. Mereka bukan virus. Mereka bukan ancaman. Mereka adalah warga negara yang punya hak yang sama atas perlindungan hukum, hak privasi, dan ruang untuk hidup secara layak. Ketika ruang-ruang daring seperti grup “Gay Tuban” dihancurkan, kita sedang merampas hak dasar manusia untuk berkumpul, berbicara, dan membangun solidaritas.
Kita boleh saja tidak sepakat dengan cara hidup seseorang. Tapi itu tidak memberi kita kuasa untuk menghakimi, apalagi mengkriminalisasi. Hukum dibuat untuk menjaga, bukan untuk menghancurkan. Hukum dibuat untuk melindungi, bukan untuk menciptakan ketakutan.
Mari jujur, jika nama grup itu adalah “Straight Tuban,” dan pelakunya adalah pasangan heteroseksual dengan alat bantu seks serupa, akankah mereka juga ditangkap? Akankah aparat menggelar konferensi pers dengan narasi yang sama? Atau kita akan melihat toleransi yang diam-diam menyelimuti karena pelakunya dianggap “normal”?
Opini ini bukan pembelaan terhadap pelanggaran hukum. Ini adalah gugatan terhadap praktik penegakan hukum yang tebang pilih, terhadap narasi negara yang masih belum selesai berdamai dengan keberagaman. Kita tidak bisa bicara tentang demokrasi tanpa membicarakan hak untuk menjadi berbeda. Kita tidak bisa menyebut Indonesia sebagai negara hukum jika hukum itu hanya berpihak pada satu sisi kebenaran moral.
Saat ini, kasus “Gay Tuban” sedang dalam proses pendalaman lebih lanjut. Aparat menyatakan akan menyelidiki siapa pembuat grup, serta pengguna aktif lainnya. Narasi ini mencemaskan. Bukan karena pelaku kriminal akan ditangkap, tapi karena siapa pun yang tergabung dalam komunitas itu bisa sewaktu-waktu dianggap bersalah hanya karena eksistensinya.
Kita sedang berjalan mundur. Ketika identitas menjadi ancaman, ketika seksualitas menjadi bahan pengadilan, maka kita telah membuka ruang bagi bentuk baru dari persekusi. Persekusi yang lebih rapi, lebih legal, dan lebih sistematis.
Apa yang harus kita lakukan? Pertama, mendesak aparat untuk berhenti menggunakan istilah-istilah medis secara sembarangan. “Kelainan seksual” adalah diagnosis yang seharusnya berada di tangan profesional kesehatan mental, bukan aparat penegak hukum. Kedua, mendorong media untuk tidak latah mengulang narasi negara tanpa pertimbangan kritis. Media bukan corong kekuasaan, media adalah ruang dialektika.
Dan ketiga, membangun kesadaran publik bahwa hak untuk mencintai, berekspresi, dan membangun komunitas tidak boleh dikalahkan oleh prasangka. Ini bukan perkara siapa yang lebih bermoral, tapi siapa yang lebih manusiawi.
Akhirnya, kita harus berani bertanya pada diri sendiri: jika hukum bisa digunakan untuk mengadili identitas hari ini, siapa yang akan menjadi sasarannya besok? Jika menjadi gay bisa membuat seseorang dipermalukan di ruang publik, apakah menjadi berbeda dalam bentuk lain juga kelak akan jadi alasan untuk ditangkap?
Peradaban yang sehat bukan peradaban yang bersih dari perbedaan. Tapi peradaban yang mampu merangkul perbedaan itu dengan adil. Tuban hari ini memberi kita cermin: apakah kita masih punya keberanian untuk melawan kebutaan hukum yang dibungkus moral mayoritas?
Dan yang lebih penting: apakah kita masih punya nurani?
Reporter: Moh. Najib Aufani/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia