SOLUTIF

Antara Harapan dan Realita: Jalur Kelam Nelayan Lamongan di Tengah Ancaman Ekonomi dan Keselamatan

Sejumlah kapal di Lamongan banyak yang terikat.

SOLUTIF, Lamongan- (20/06/2025) Kabupaten Lamongan, sebuah daerah pesisir di Jawa Timur, dikenal dengan kekayaan lautnya yang melimpah. Ribuan nelayan menggantungkan hidup pada ombak dan angin, berangkat setiap dini hari dan kembali dengan harapan membawa tangkapan yang cukup untuk menyambung hidup. Namun, realita yang dihadapi para nelayan Lamongan hari ini tidak lagi seindah harapan. Tantangan ekonomi, ancaman keselamatan, hingga ketidakpastian cuaca dan pasar telah membayangi kehidupan mereka, menciptakan sebuah jalur kelam yang seolah tak berujung.

Musim pancaroba yang berkepanjangan di perairan utara Lamongan dalam beberapa bulan terakhir telah berdampak penting terhadap aktivitas melaut. Ombak tinggi, angin kencang, dan badai yang datang tiba-tiba membuat banyak nelayan memilih berdiam di rumah, bukan karena malas, tetapi karena takut kehilangan nyawa.

Tragedi yang menimpa seorang nelayan muda bernama Riski (30), warga Kecamatan Brondong, menjadi bukti nyata betapa besar risiko pekerjaan ini. Ia dilaporkan hilang setelah perahunya terbalik diterjang ombak. Beberapa hari kemudian, jasadnya ditemukan di perairan setempat.

“Anak saya hanya ingin mencari makan, tapi laut sekarang tak ramah. Hujan dan ombak itu seperti musuh tak terlihat,” ungkap Nurjanah, ibu korban. Peristiwa tersebut menyisakan luka mendalam, tidak hanya bagi keluarga, tapi juga komunitas nelayan setempat. Keselamatan seharusnya menjadi prioritas utama, namun minimnya edukasi keselamatan, tidak tersedianya alat pelindung standar, serta tidak optimalnya sistem peringatan dini, membuat nyawa para nelayan seolah berada di ujung tanduk setiap kali mereka melaut.

Selain cuaca, tekanan terbesar datang dari sisi ekonomi. Dalam beberapa bulan terakhir, hasil tangkapan seperti rajungan, cumi-cumi, dan tongkol mengalami penurunan drastis. Ironisnya, saat hasil tangkapan berkurang, harga di pasar justru ikut jatuh. Akibatnya, penghasilan nelayan pun semakin tidak seimbang dengan pengeluaran.

“Hasil tangkapan menurun drastis. Rajungan, yang biasanya jadi andalan ekspor, kini tak laku di pasar. Para nelayan bingung karena harga jual tak cukup untuk menutup ongkos solar dan perbaikan kapal,” ungkap Hartono.

Kondisi ini diperparah dengan naiknya harga bahan bakar dan alat tangkap. Banyak nelayan terpaksa meminjam uang kepada rentenir untuk bisa tetap melaut, yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran hutang berkepanjangan.

Di beberapa desa pesisir seperti Kandangsemangkon dan Labuhan, mulai muncul fenomena “perahu nganggur“, yaitu kapal-kapal nelayan yang dibiarkan terikat karena pemiliknya tidak sanggup membiayai operasional. Akibatnya, selain kehilangan pendapatan, roda ekonomi lokal pun ikut tersendat.

Pemerintah sebenarnya telah menggulirkan program asuransi nelayan sebagai bentuk perlindungan terhadap risiko kerja di laut. Namun, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak nelayan mengeluhkan prosedur administrasi yang rumit dan lokasi pelayanan yang jauh dari desa mereka. Seorang nelayan di Kecamatan Paciran, Ainur Rohman, menuturkan bahwa ia tidak bisa mengklaim asuransi padahal telah membayar premi sejak tahun sebelumnya.

“Waktu itu kapal saya rusak parah karena cuaca buruk, tapi ketika mau klaim, katanya dokumennya kurang. Sudah bolak-balik ke kantor, tapi tak ada hasil. Akhirnya saya perbaiki sendiri habis hampir 30 juta,” keluhnya.

Kasus seperti ini memperlihatkan lemahnya sistem perlindungan sosial bagi nelayan. Mereka yang sehari-hari berjuang keras dengan bahaya, justru tidak mendapatkan kepastian dan jaminan saat mengalami musibah.

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo sempat mengunjungi Lamongan dan mendengarkan keluhan nelayan secara langsung. Ia menjanjikan akan melakukan pengerukan pelabuhan perikanan dan memperbaiki infrastruktur pendukung. Namun, hingga kini, janji tersebut belum sepenuhnya terealisasi.

Dalam dunia politik dan kebijakan, nelayan sering kali hanya menjadi objek narasi pembangunan tanpa mendapat porsi nyata dalam pelaksanaan kebijakan. Bantuan alat tangkap, pelatihan, dan subsidi operasional masih minim dan tidak merata.

Program mengembangkan usaha untuk nelayan pun belum berjalan maksimal. Padahal, jika dilatih dan difasilitasi dengan baik, nelayan bisa memproduksi olahan hasil laut seperti abon ikan, kerupuk, atau frozen seafood yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Hal ini bisa menjadi solusi jangka panjang agar nelayan tidak hanya bergantung pada hasil tangkapan.

Nelayan Lamongan tidak meminta banyak, mereka hanya ingin bisa bekerja dengan aman, hasil tangkapannya dihargai layak, dan mendapat perlindungan saat musibah datang. Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, hadir dengan langkah nyata.

Pembangunan sektor perikanan tidak cukup hanya diwujudkan melalui pembangunan pelabuhan megah atau seremoni penyerahan bantuan alat tangkap yang minim dampak. Yang dibutuhkan nelayan adalah keberpihakan yang konkret: kemudahan akses terhadap BBM bersubsidi, program asuransi yang benar-benar berjalan, edukasi keselamatan laut yang menyeluruh, serta kepastian pasar bagi hasil tangkapan. Tanpa hal-hal tersebut, harapan nelayan akan terus tenggelam bersama gelombang ketidakpastian, dan jalur kelam yang mereka tempuh akan kian panjang dan tak berujung.

 

Reporter: Rina Mei Zul Afifah/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top