
SOLUTIF, Tuban- (20/06/2025) – Penjualan batu bata di Desa Pucangan, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban mengalami penurunan signifikan sejak awal tahun 2025. Penurunan ini terjadi karena semakin banyaknya pesaing dari desa-desa sekitar yang turut memproduksi dan menjual batu bata dengan harga lebih murah. Para pengrajin lokal yang mayoritas merupakan warga Pucangan sendiri mengeluhkan bahwa sejak awal tahun, jumlah pesanan dari pembeli luar daerah menurun drastis. Selain itu, konsumen kini lebih selektif dalam memilih produsen, terutama mempertimbangkan harga dan lokasi pengiriman.
Situasi ini membuat para pelaku usaha batu bata di Pucangan harus mencari cara untuk tetap bertahan, salah satunya dengan meningkatkan kualitas produksi dan efisiensi kerja. Penurunan permintaan dan ketatnya persaingan inilah yang menjadi tantangan utama sektor industri kecil di desa Pucangan. Menurut Ahlun (25), salah satu pengrajin batu bata di Pucangan, dalam dua bulan terakhir penjualannya turun hingga 40 persen dibanding tahun lalu.
“Dulu saya bisa menjual 60.000 batu bata per bulan, sekarang paling banyak hanya 35.000. Banyak pembeli lari ke desa sebelah yang harganya sedikit lebih murah,” Ungkap Ahlun.
Ia juga menyebutkan bahwa harga jual batu bata kini turun dari Rp650 menjadi Rp500 per buah karena persaingan harga yang ketat. Sementara biaya produksi tetap tinggi, terutama untuk tegangan listrik, gergaji, alat mesin dan tenaga kerja.
“Yang merusak tatanan harga itu daerah timuran seperti di kabupaten Lamongan, Paciran. Banyak pelanggan dari Jawa Timur yang awalnya ngepok atau ambil di daerah palang kini pindah ke Paciran. Sebab harganya jauh lebih murah di Paciran ketimbang di palang. Selisih harga mencapai saparuh per truknya.” Imbuhnya
Beberapa pengrajin mencoba bertahan dengan memperbaiki mutu bata, menyesuaikan ukuran agar sesuai standar proyek besar, hingga menawarkan layanan antar langsung ke lokasi pembeli. Namun, hal ini belum cukup untuk mengembalikan kejayaan usaha batu bata seperti beberapa tahun lalu. Apalagi ditambah dengan cuaca yang tidak menentu menjadikan salah satu tantangan buat tambang batu bata sebab kalau cuaca sudah mendung para pengerajin tidak bisa membuat batu bata ditakutkan terjadinya korsleting listrik yang dapat membahayakan nyawa. Serta truk yang ingin mengangkut batu bata tidak bakalan bisa naik ke gunung diakibatkan jalanya yang licin.
Saat ini, sekitar 60% rumah tangga di Pucangan masih bergantung pada industri ini. Warga berharap ada dukungan dari pemerintah daerah maupun dinas terkait agar mereka tidak kalah bersaing dengan produsen dari luar desa. Dengan strategi dan bantuan yang tepat, mereka optimis bisa bangkit kembali dan menjadikan batu bata Pucangan tetap kompetitif di pasar lokal dan regional.
Reporter: Zumrotun Muayyadah Zesika / M. Sandy Prakoso / Siti Fadhilah Nur Ilma