SOLUTIF

Banjir Plumpang: Ketika Alam Memperingatkan, Sudahkah Kita Mendengar?

Gambar banjir plumpang diambil dari Ronggo.id

Tuban, (17/06/2025) —  Banjir besar yang melanda Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, sejak akhir tahun 2024 hingga pertengahan tahun 2025 telah menjadi pukulan telak bagi masyarakat setempat dan memaksa kita untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan alam. Bencana ini dipicu oleh hujan berkepanjangan yang turun tanpa henti selama lebih dari enam bulan, menyebabkan meluapnya Sungai Avour dan menggenangi ribuan hektare lahan pertanian serta permukiman warga. Akibatnya, ribuan petani mengalami gagal panen total, sementara aktivitas sehari-hari warga lumpuh hampir sepenuhnya. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai triliunan rupiah, belum termasuk dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan psikologis masyarakat. Pemerintah daerah dan pusat telah berupaya memberikan bantuan darurat, namun skala bencana ini jauh melampaui kapasitas penanganan yang ada. Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita bisa mencegah tragedi serupa di masa depan, dan apa yang harus kita lakukan untuk memulihkan tidak hanya infrastruktur fisik, tetapi juga keseimbangan ekologis yang telah terganggu?

Banjir Plumpang 2025 bukanlah peristiwa yang terisolasi. Ini adalah serangkaian perubahan lingkungan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Deforestasi di hulu Sungai Avour, konversi lahan basah menjadi area industri, dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan telah mengikis kemampuan alam untuk menyerap dan mengatur aliran air. Ketika hujan ekstrem yang diduga terkait dengan perubahan iklim global melanda wilayah ini, hasilnya adalah bencana yang tak terelakkan. Namun, di balik kehancuran ini, muncul tanda-tanda harapan. Masyarakat Plumpang telah menunjukkan ketangguhan luar biasa dalam menghadapi krisis. Gotong royong, nilai yang sempat terlupakan di era modern, kembali menjadi tulang punggung upaya pemulihan.

Namun, di tengah musibah ini, kita tidak boleh melupakan pelajaran penting yang dapat diambil dari bencana Plumpang. Pertama, kita harus mengakui bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman abstrak di masa depan, melainkan realitas yang kita hadapi saat ini. Peristiwa cuaca ekstrem seperti yang dialami Plumpang kemungkinan besar akan semakin sering terjadi jika kita tidak mengambil tindakan drastis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kedua, pentingnya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang terintegrasi tidak bisa diabaikan lagi. Sungai Avour, yang selama ini dianggap sebagai sumber kehidupan, telah berubah menjadi ancaman karena pengelolaan yang tidak tepat. Kita perlu mengembalikan fungsi hutan di hulu sungai, merestorasi lahan basah, dan menerapkan sistem drainase yang lebih baik di perkotaan. Ketiga, ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan. Gagal panen yang dialami petani Plumpang menunjukkan kerentanan sistem pertanian kita terhadap guncangan iklim. Diversifikasi tanaman, penerapan teknologi pertanian presisi, dan pengembangan varietas tanaman yang tahan banjir adalah beberapa langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan ketahanan sektor pertanian.

Keempat, peran masyarakat dalam mitigasi dan adaptasi bencana harus diperkuat. Pengalaman Plumpang menunjukkan bahwa respons yang paling cepat dan efektif sering kali datang dari komunitas lokal. Program-program pelatihan dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana perlu diperluas dan diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan daerah. Kelima, kita perlu mengevaluasi kembali paradigma pembangunan yang selama ini kita anut. Model pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah terbukti tidak berkelanjutan. Sudah saatnya kita beralih ke model ekonomi sirkular yang meminimalkan limbah dan memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya. Banjir Plumpang 2025 adalah momen penting yang menuntut introspeksi mendalam dari kita semua.

Kita memiliki kesempatan untuk menciptakan model pembangunan baru yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Kita membutuhkan pendekatan holistik yang menggabungkan pengetahuan lokal dengan inovasi teknologi terkini. Investasi dalam penelitian dan pengembangan solusi berbasis alam, seperti infrastruktur hijau dan biru, harus ditingkatkan. Lebih dari itu, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap bencana. Alih-alih melihatnya sebagai peristiwa tak terduga yang hanya bisa kita respons secara reaktif, kita harus mulai memandangnya sebagai risiko yang dapat dikelola dan dimitigasi. Ini berarti mengintegrasikan upaya mitigasi ke dalam setiap aspek pembangunan.

 

Reporter : Khoirul Fatimah/ Silva Ayu Triani/ Sheilatul Uftavia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top