SOLUTIF

Gelombang Baru Covid-19: Saatnya Belajar Dari Kesalahan Lama

Gambar ilustrasi dari AI

Tuban, 13 Juni 2025 – Meningkatnya kembali kasus COVID-19 di berbagai wilayah Asia seperti Thailand, Singapura, Hong Kong, dan bahkan Malaysia menjadi kode keras bahwa pandemi belum sepenuhnya usai. Meski situasi tidak lagi segenting awal 2020, lonjakan terbaru ini menunjukkan bahwa kelengahan bisa berujung pada konsekuensi serius. Di tengah rasa jenuh dan euforia (perasaan Bahagia berlebihan) pascapandemi, kita dihadapkan pada ujian kesadaran: apakah pelajaran dari gelombang-gelombang sebelumnya benar-benar telah kita pahami dan terapkan, atau justru kita kembali mengulangi pola kesalahan yang sama?. Dikutip dari MediaIndonesia.com (2 Juni 2025), dilaporkan bahwa di Thailand hingga 30 Mei, sebanyak 52 orang meninggal dunia akibat COVID-19. Sementara di Singapura, jumlah kasus meningkat tajam dari 11.100 menjadi 14.200 kasus hanya dalam waktu satu minggu. Laporan tersebut ditulis oleh jurnalis Ihfa Firdausi, dan menjadi sinyal kuat bahwa penyebaran kembali virus ini bukan sekadar kekhawatiran berlebihan.

Namun di Indonesia, respons terhadap sinyal tersebut terkesan lamban. Langkah resmi baru diambil pada 31 Mei, saat Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran kewaspadaan terhadap peningkatan kasus COVID-19. Kebijakan ini seharusnya bisa dilakukan lebih dini, mengingat arus mobilitas masyarakat Indonesia yang tinggi dan potensi penyebaran varian baru dari negara tetangga yang sangat mungkin terjadi. Jika keberadaan COVID-19 memang masih nyata, maka tidak dapat disangkal bahwa variannya pun terus berkembang.

“Meski demikian transmisi penularannya masih relatif rendah, dan angka kematiannya juga rendah,” tulis Kemenkes dalam surat edaran, yang dikutip dari Tempo.co.

Indonesia sendiri sudah merilis data mutakhir mengenai varian yang beredar di dalam negeri, yakni varian MB.1.1. Varian ini notabene memang tidak mudah menyebar dibandingkan subvarian Omikron lainnya seperti JN.1 atau XEC, namun bukan berarti dapat dianggap sepele. Tingkat penularan yang lebih rendah tetap membawa risiko, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, individu dengan komorbiditas, serta mereka yang belum menerima vaksinasi booster terbaru. Kendati demikian, keterbukaan data ini patut diapresiasi sebagai langkah awal untuk meningkatkan kesadaran publik. Tantangannya kini adalah memastikan bahwa informasi tersebut tidak hanya berhenti ditingkat laporan resmi, tetapi juga diterjemahkan menjadi kebijakan pencegahan yang konkret dan edukasi masyarakat yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, komunikasi resiko yang jelas, transparan, dan berbasis bukti menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah munculnya kembali kepanikan yang tidak perlu.

Di sisi lain, masyarakat juga tampak mulai lengah. Protokol kesehatan nyaris terlupakan, masker hanya terlihat di fasilitas kesehatan, dan sebagian besar kegiatan publik telah kembali tanpa pembatasan berarti. Pemerintah memang telah mencabut status darurat pandemi, tetapi mencabut kewaspadaan bukanlah pilihan bijak. Kewaspadaan bukan berarti panik, melainkan bentuk tanggung jawab kolektif terhadap kesehatan masyarakat. Masyarakat pun perlu diajak untuk kembali peduli. Penggunaan masker di tempat ramai, menjaga kebersihan, dan mempertimbangkan vaksinasi penguat (booster) merupakan langkah sederhana namun efektif untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Kita tidak tahu seberapa cepat varian baru bisa menyebar, tetapi kita tahu pasti: ketidaksiapan adalah pintu masuk bagi bencana yang sama terulang.

Gelombang baru ini seharusnya menjadi pengingat, bukan kejutan. Saat dunia bergerak menuju pemulihan, Indonesia tidak boleh ketinggalan langkah, apalagi jatuh ke dalam jebakan rasa aman yang semu. Kini, lebih dari sebelumnya, adalah waktu yang tepat untuk belajar dari kesalahan lama dan bertindak lebih sigap demi masa depan yang lebih sehat dan tangguh. Kita harus belajar dari pengalaman pahit masa lalu. Saat itu, keterlambatan respons, minimnya koordinasi, serta kebijakan yang berubah-ubah menyebabkan lonjakan kasus yang merenggut banyak nyawa. Kini, di tengah tanda-tanda gelombang baru, pemerintah dan masyarakat punya pilihan: mengulang siklus kesalahan, atau memperbaiki cara kita menangani pandemi yang belum sepenuhnya berakhir ini.

Reporter : Muhammad Syahroni/Khoirul Fatimah/M. Sandy Prakoso

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top