SOLUTIF

Ketika Jas Putih Menjadi Tameng: Menggugat Sistem Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia

Keterangan gambar, MSF ( berbaju oranye ), tersangka kasus kekerasan seksual di Garut, Jawa Barat. Korban diduga lebih dari satu orang.

Sumber: Artikel ini dikutip dari harian kompas, 17 April 2025

 

TUBAN, KOMPAS — Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang semakin banyak dilaporkan dalam pelayanan kesehatan menegaskan pentingnya penegakan standar operasional prosedur layanan ke pasien. Masyarakat pun harus paham bahwa dalam pelayanan dan pemeriksaan, setiap pasien harus mendapatkan pendampingan sehingga tindakan yang tidak diinginkan bisa dicegah. Hal itu disampaikan oleh Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Kolegium Kesehatan Indonesia, Ivan Rizal Sini dalam konferensi pers yang diadakan oleh Konsil Kesehatan Indonesia di Jakarta, Kamis (17/4/2025). Dalam proses pemeriksaan, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter kandungan dan kebidanan, pasien harus didampingi.

”Jadi, butuh perhatian yang mendasar tentang bagaimana proses pemeriksaan yang melibatkan chaperone atau pendamping. Apalagi jika kita berbicara pemeriksaan pada area yang sensitif tentu butuh kepatuhan bagi pemberi layanan, baik lawan jenis maupun sama, harus ada yang mendampingi,” ujarnya. Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kompas

Ivan menyampaikan, keberadaan perawat sebagai pendamping pasien juga merupakan mandatori dalam prosedur standar operasi (SOP) untuk pelayanan dokter kandungan dan kebidanan. Keberadaan pendamping ini pun berlaku untuk semua pemeriksaan dan pelayanan pada jenis layanan lainnya.

Selain itu, ia menuturkan, sejumlah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien juga harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Hal ini terutama untuk pemeriksaan fisik. Izin tersebut bisa diajukan dalam bentuk verbal ataupun tertulis. Untuk sejumlah pemeriksaan, khususnya yang bersifat invasif juga harus disampaikan dalam persetujuan tertulis.

Dengan mengetahui SOP tersebut diharapkan pasien bisa lebih waspada terhadap risiko kejahatan dalam pelayanan kesehatan. Pasien berhak untuk mendapatkan penjelasan dan informasi mengenai tindakan yang akan didapatkan terkait pelayanan kesehatan. Pasien berhak untuk menolak jika tindakan yang diberikan tidak sesuai dengan penjelasan yang sebelumnya didapatkan.

Pentingnya penegakan SOP dalam pelayanan kesehatan tersebut disampaikan pula oleh Ketua Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif, Reza Widianto Sudjud. Dalam pelayanan kesehatan, SOP yang dijalankan harus sesuai dengan SOP tempat pelayanan kesehatan dilakukan.

Untuk itu, peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) dari perguruan tinggi tertentu harus mematuhi SOP rumah sakit tempat pendidikan dilakukan. Merujuk pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh peserta PPDS dari FK Universitas Padjadjaran di RS Hasan Sadikin, kejadian ini bisa menunjukkan adanya pelanggaran SOP dalam pelayanan di rumah sakit.

Reza menuturkan, obat termasuk obat bius seharusnya diambil oleh dokter penanggung jawab pasien dan tidak boleh diambil oleh peserta PPDS. Apabila ada obat sisa pun harus dikembalikan ke depo farmasi di rumah sakit tersebut.

”Ini ada pelanggaran SOP yang dilakukan. Patut dipertanyakan dari mana yang bersangkutan (pelaku) bisa mendapatkan obat tersebut. Karena yang bersangkutan juga melakukan pengambilan sampel (darah) yang seharusnya tidak dilakukan oleh dokter, itu berarti sudah tidak sesuai,” tuturnya.

Sementara itu, terkait dengan kasus pelecehan seksual oleh dokter kandungan M Syafril Firdaus di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ketua Konsil Kesehatan Indonesia Arianti Anaya menuturkan, surat tanda registrasi (STR) dari tersangka tersebut telah dinonaktifkan untuk sementara. Tindak lanjut akan diputuskan sambil menunggu hasil pemeriksaan dari kepolisian. ”Kalau nanti statusnya sudah jelas, kita akan menaikkan status pencabutan STR,” ujarnya.

Arianti mengatakan, sanksi tegas akan diberikan bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis yang melakukan pelanggaran dalam pelayanan kesehatan di masyarakat. Sanksi tegas diberikan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku sekaligus melindungi dan memberikan keamanan bagi pasien.

Ia pun mengecam segala bentuk perundungan, pelecehan seksual, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Konsil Kesehatan Indonesia juga membuka kanal resmi bagi masyarakat yang akan melaporkan adanya dugaan pelanggaran dari tenaga kesehatan dan tenaga medis.

”KKI akan lakukan sesuai SOP terhadap semua laporan. Ini termasuk pada laporan di Malang (pelecehan seksual oleh dokter). Kita akan proses dan juga akan melibatkan MDP (Majelis Disiplin Profesi) serta kolegium. Semua akan kita proses dan harus transparan,” tuturnya.

Kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan adalah cermin retaknya etika profesional dan lemahnya pengawasan institusi. Jas putih yang seharusnya menjadi simbol kehormatan dan kepercayaan, kini mulai tercoreng oleh tindakan individu yang menyalahgunakan kekuasaan dan posisi. Sudah saatnya masyarakat tidak lagi memandang dokter sebagai sosok yang tak bisa dipertanyakan. Transparansi, pendampingan saat pemeriksaan, serta keberanian pasien untuk bersuara harus menjadi standar baru dalam sistem layanan medis kita. Reformasi pendidikan dokter spesialis pun perlu diarahkan tidak hanya pada kompetensi klinis, tetapi juga pada integritas moral dan empati sosial. Karena sejatinya, menyembuhkan tidak hanya soal keterampilan tangan, tapi juga kebersihan hati.

 

Reporter; Nur Abbel Elyza Putri / Anjar Sli Julianzani / Fadhilah

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top